Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
SELAMA beberapa dekade terakhir, industri jasa keuangan, khususnya perbankan, telah mengalami transformasi signifikan karena faktor internal dan eksternal, termasuk transformasi model bisnis, adopsi teknologi canggih (termasuk kecerdasan buatan), perubahan lingkungan peraturan, perubahan perilaku konsumen, dan sebagainya.
Sektor perbankan modern adalah ekosistem yang sangat kompleks. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang, di dalamnya termasuk penyedia jasa internet, perusahaan teknologi, juga perusahaan rintisan, memainkan peran yang semakin berpengaruh dan signifikan.
Jika sejarah merupakan indikasi faktual, bank telah menanggung kerugian miliaran dolar AS karena pengambilan risiko yang tidak bijaksana dan tidak hati-hati. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai jenis risiko yang dihadapi oleh setiap bank pada 2018 dan seterusnya.
Jauh lebih komprehensif dari pemahaman cakupan risiko perbankan nasional yang selama ini dikenal (yakni delapan jenis risiko), dari perspektif internasional cakupan risiko perbankan lebih luas lagi. Ada sebanyak 11 kategori, yaitu business/strategic risk; compliance risk; credit risk; cybersecurity risk; liquidity risk; market risk; moral hazard risk; open banking risk; operational risk; reputational risk; dan systemic risk.
Dari 11 jenis risiko tersebut, terdapat tiga jenis “risiko baru” yang juga harus diperhatikan oleh pelaku perbankan. Ketiga risiko tersebut yaitu risiko ancaman siber, risiko open banking, dan risiko moral hazard.
Cyber risk adalah segala risiko kerugian finansial, gangguan, atau rusaknya reputasi organisasi akibat pelanggaran sistem keamanan pada teknologi informasinya. Sesuai dengan namanya, open banking adalah sebuah sistem yang memungkinkan bank untuk menjadi terbuka, sehingga dapat terjadi pertukaran data nasabah antara pihak perbankan, lembaga keuangan, dengan pihak ketiga dari berbagai bisnis dan aplikasi digital secara aman. Di sini potensi risiko terbuka jika pengelolaan open banking tidak prudent.
Dalam konteks risiko moral hazard, acapkali dipahami secara rancu dengan yang namanya adverse selection. Secara sederhana, moral hazard adalah suatu tindakan yang sering terjadi di dalam suatu perusahaan, yang mengandung konotasi negatif karena menyiratkan adanya penipuan (fraud) atau perilaku tak bermoral. Sedangkan adverse selection (diartikan sebagai “seleksi yang merugikan”) terjadi ketika salah satu pihak atau lebih dalam sebuah transaksi bisnis mengambil keuntungan, berdasarkan informasi intern yang dimilikinya, atas pihak lain yang tidak memiliki informasi intern tersebut (William Scott, 2003).
Baca juga: Program Restrukturisasi Kredit Diperpanjang di Tengah Laba dan Tantiem Jumbo, Awas Moral Hazard!
Moral Hazard dan Adverse Selection
Menurut penelitian ekonom Allard E. Dembe di The Ohio State University dan Leslie I. Boden di Boston University, istilah moral hazard banyak digunakan oleh agen asuransi di Inggris. Meskipun penggunaan awal istilah ini menyiratkan perilaku curang dan tidak bermoral, kadang-kadang kata “moral” juga telah digunakan untuk hanya merujuk pada perilaku subjektif di bidang matematika, sehingga implikasi etis dari istilah ini tidak jelas.
Pada 1960-an, moral hazard menjadi subjek studi lagi di kalangan ekonom. Pada saat ini, para ekonom menggunakan bahaya moral untuk merujuk pada inefisiensi yang diciptakan ketika risiko tidak dapat sepenuhnya dipahami dan dimitigasi.
Sementara itu, adverse selection menggambarkan situasi di mana satu pihak dalam kesepakatan memiliki informasi yang lebih akurat dan berbeda dari pihak lain. Pihak dengan informasi yang lebih sedikit berada pada posisi yang kurang menguntungkan terhadap pihak yang memiliki lebih banyak informasi.
Asimetri informasi ini menyebabkan kurangnya efisiensi dalam pembentukan harga dan jumlah barang dan jasa yang disediakan. Ketidakseimbangan informasi di antara para pihak tersebut telah menditorsi harga di pasar terbuka. Bahkan, dalam kondisi tertentu, hal ini bisa memicu lonjakan inflasi karena hukum ekonomi – keseimbangan antara sisi penawaran dan sisi permintaan – tidak berjalan normal sesuai dengan mekanisme pasar.
Kata moral hazard sendiri kemudian kerap dipergunakan dalam perspektif perbankan yang merujuk pada perilaku pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Paul Krugman sendiri menyebutkan bahwa konsep moral hazard telah luas dipergunakan dalam menjelaskan berbagai perilaku debitur (borrower) serta pemberi kredit (kreditur/bank) yang berani mengambil risiko tinggi selama krisis keuangan terjadi di Asia Tenggara pada 1997-1998.
Para pelaku perbankan menyadari bahwa dalam pengendalian risiko, maka salah satu yang sulit dianalisis dan dimitigasikan adalah risiko moral hazard. Baik moral hazard maupun adverse selection digunakan dalam domain ekonomi, manajemen risiko, dan asuransi untuk menggambarkan situasi di mana satu pihak berada pada posisi yang kurang menguntungkan sebagai akibat dari perilaku pihak lain.
Sekali lagi, moral hazard terjadi ketika ada informasi asimetris antardua pihak dan perubahan perilaku salah satu pihak terjadi setelah kesepakatan antarkedua pihak tercapai. Informasi asimetris mengacu pada situasi apa pun di mana satu pihak dalam transaksi memiliki pengetahuan material yang lebih besar (lebih banyak) daripada pihak lain.
Secara faktual, dalam situasi moral hazard, salah satu pihak yang menandatangani perjanjian memberikan informasi yang menyesatkan atau mengubah perilaku mereka setelah perjanjian dibuat karena mereka percaya bahwa mereka tidak akan menghadapi konsekuensi apa pun atas tindakan mereka.
Ketika seseorang atau entitas bisnis tidak menanggung biaya penuh risiko, mereka mungkin memiliki insentif untuk meningkatkan eksposur mereka terhadap risiko. Keputusan ini didasarkan pada apa yang akan memberi mereka tingkat manfaat tertinggi. Setiap kali dua pihak mencapai kesepakatan satu sama lain, maka bahaya moral dapat hadir.
Situasi dan kondisi yang dihadapi pelaku jasa keuangan, selain masalah moral hazard adalah adverse selection, yang mengacu pada situasi di mana penjual memiliki lebih banyak informasi daripada pembeli, atau sebaliknya, tentang beberapa aspek kualitas produk, meskipun biasanya pihak yang lebih berpengetahuan adalah penjual. Pihak yang dirugikan terjadi ketika informasi asimetris dieksploitasi oleh pihak lawannya.
Secara singkat, moral hazard dan adverse selection adalah istilah yang digunakan dalam ekonomi, manajemen risiko, penjaminan dan asuransi untuk menggambarkan situasi di mana satu pihak dirugikan oleh pihak lain.
Contoh Moral Hazard
Berikut ini contoh nyata tentang moral hazard. Misalnya, seorang pemilik rumah yang tinggal di zona banjir tidak memiliki polis asuransi kebakaran yang diperluas cakupan proteksinya dengan asuransi pencurian dan asuransi kebanjiran.
Pemilik rumah sangat berhati-hati dan berlangganan sistem keamanan rumah canggih untuk mencegah tindak pencurian. Ketika ada badai, pemilik rumah bersiap menghadapi risiko banjir dengan membersihkan saluran air dan memindahkan perabotan untuk mencegah kerusakan.
Namun, lama-kelamaan pemilik rumah lelah karena selalu harus khawatir tentang potensi pencurian dan persiapan menghadapi banjir, sehingga pemilik rumah memutuskan membeli polis asuransi rumah yang diperluas dengan jaminan risiko banjir.
Karena merasa aset rumah dan seisinya sudah dijaminkan di perusahaan asuransi, perilaku pemilik rumah berubah. Dia membatalkan langganan sistem keamanan rumah dan berbuat lebih sedikit untuk mempersiapkan potensi banjir. Perusahaan asuransi sekarang berisiko lebih besar menanggung klaim kerugian sebagai akibat dari kerusakan karena banjir.
Sikap pemilik rumah yang cenderung melepaskan tanggung jawab terkait upaya perlindungan rumah beserta aset di dalamnya dari risiko pencurian dan kebanjiran merupakan sikap moral hazard yang sering dihadapi perusahaan penjaminan atau asuransi kerugian.
Contoh lainnya adalah ketika ada dua kelompok orang dalam populasi, yaitu mereka yang merokok dan tidak berolahraga, dan mereka yang tidak merokok dan yang berolahraga. Sudah menjadi rahasia umum, mereka yang merokok dan tidak berolahraga memiliki harapan hidup relatif lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan memilih berolahraga.
Misalkan ada dua orang ingin membeli polis asuransi jiwa, satu orang yang merokok dan tidak berolahraga, dan satu orang yang tidak merokok dan berolahraga setiap hari. Perusahaan asuransi, tanpa informasi lebih lanjut, tidak dapat membedakan antara individu yang merokok dan tidak berolahraga dan individu lainnya.
Perusahaan asuransi meminta individu sebagai calon tertanggung mengisi kuesioner untuk mengidentifikasi dirinya. Namun, individu yang merokok dan tidak berolahraga tahu bahwa dengan menjawab secara jujur, mereka akan dikenai premi asuransi yang lebih tinggi.
Lalu, orang ini memutuskan berbohong dan mengatakan mereka tidak merokok dan berolahraga setiap hari. Hal ini menyebabkan penentuan seleksi yang merugikan karena perusahaan asuransi jiwa akan membebankan premi yang sama kepada kedua individu.
Namun, asuransi lebih berharga bagi perokok yang tidak berolahraga daripada yang tidak merokok. Perokok yang tidak berolahraga akan membutuhkan lebih banyak asuransi kesehatan dan pada akhirnya akan mendapat manfaat dari premi yang lebih rendah.
Perusahaan asuransi mengurangi eksposur terhadap klaim besar dengan membatasi cakupan mereka atau menaikkan premi tanggungan. Perusahaan asuransi berusaha mengurangi potensi seleksi yang merugikan dengan mengidentifikasi kelompok orang yang lebih berisiko daripada populasi umum dan membebankan premi yang lebih tinggi kepada mereka.
Akhirnya, baik dalam moral hazard maupun adverse selection, terdapat asimetri informasi antarkedua belah pihak. Perbedaan utama adalah ketika itu risiko terjadi. Dalam situasi moral hazard, perubahan perilaku salah satu pihak terjadi setelah kesepakatan dibuat. Namun, dalam seleksi yang merugikan, ada kurangnya informasi simetris sebelum kontrak atau kesepakatan disepakati.
Baca juga: OJK dan Prospera Siapkan Manajemen Risiko Iklim untuk Perbankan RI
Mitigasi Risiko
Begitu banyak dan kompleksnya risiko yang dihadapi pelaku industri jasa keuangan, khususnya perbankan, maka upaya memitigasinya harus disiapkan dengan optimal. Regulasi yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi rujukan utama dalam mengelola industri jasa keuangan yang sehat, inklusif, menguntungkan, dan berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Terdapat beberapa beleid OJK yang mutlak diterapkan oleh pelaku industri jasa keuangan dalam kerangka memitigasi risiko moral hazarad dan adverse selection. Beleid atau kebijakan tersebut di antaranya kebijakan prinsip mengenal nasabah (know your customer); kebijakan prinsip 5C (character, capital, capacity, condition of economic, collateral) dan kebijakan four eyes principles dalam penyaluran kredit/pembiayaan; kebijakan Anti Pencucian Uang (APU), Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPPSPM).
Ada juga kebijakan sistem pengendalian internal (SPI) berbasis pada implementasi prinsip tata kelola yang baik, manajemen risiko yang andal dan kepatuhan yang tinggi terhadap semua regulasi yang berlaku (dikenal dengan prinsip GRC). Implementasi prinsip GRC menjadi pijakan utama pengelolaan industri jasa keuangan yang sehat dan kuat dalam menghadapi berbagai potensi risiko sehingga industri jasa keuangan mampu tumbuh berkembang secara berkesinambungan serta inklusif dan kontributif bagi seluruh pemangku kepentingan dan perekonomian nasional.