Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
DENGAN pembentukan kembali tatanan dunia, menyusul munculnya risiko (geo) politik dan darurat iklim, kini risiko politik (political risks) kembali menjadi sorotan, dengan dampak ekonomi yang tak terhindarkan pada perdagangan dan bisnis dunia. Lantas, bagaimana pelaku bisnis mampu melindungi diri mereka secara efektif?
Sementara itu, siklus pemilihan umum (pemilu) untuk presiden dan/atau perdana menteri pada tahun ini – di negara maju, negara berkembang, dan negara berpendapatan rendah – tampak lebih nyata pada risiko yang terpantau lebih ketat ini, yakni risiko politik.
Dalam nukilan terbitan www.coface.com edisi 4 April 2024 lalu, terekspose bahwa mengukur risiko politik berarti menilai stabilitas politik suatu negara. Risiko politik dapat bersifat politik, sosial, keamanan atau iklim.
Hal itu juga dapat melibatkan keputusan politik yang membuat transaksi ekonomi dan keuangan berjalan tidak lancar, misalnya pemblokiran transfer aset; penyitaan investasi atau properti; penolakan oleh otoritas publik untuk memenuhi kewajibannya; embargo atau sanksi ekonomi; nasionalisasi; dan pengambilalihan.
Pergolakan dan guncangan politik dapat berdampak pada dunia bisnis: mencakup perusahaan, lembaga keuangan (khususnya bank), serta investor. Untuk perusahaan mana pun, berapa pun ukurannya, ketidakstabilan politik suatu negara dapat berdampak signifikan pada bisnisnya atau pasar tempat mereka beroperasi.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Global Masih Disertai Risiko
Varian Risiko Politik
Setidaknya terdapat tiga risiko politik utama yang berpotensi terjadi di sebuah negara yang berujung pada instabilitas politik. Pertama, campur tangan atau intervensi pemerintah atau rezim penguasa. Jika terjadi krisis politik atau perubahan pemerintahan, pemerintah yang bertanggung jawab dapat memutuskan untuk menyita investasi perusahaan. Langkah seperti ini mengakibatkan hilangnya aset atau investasi bagi perusahaan yang bersangkutan.
Kedua, perang, kerusuhan sipil, dan serangan teroris. Ketika perang pecah, kerusuhan terjadi atau serangan teroris terjadi, bisnis perusahaan dapat terpengaruh dalam banyak bentuk, antara lain penghancuran atau penutupan tempat usaha; kerusakan atau kehilangan aset (properti dan keuangan); dan ketidakmampuan untuk melanjutkan kegiatan/operasionalnya.
Beberapa perusahaan bahkan mungkin ditargetkan secara khusus jika mereka dianggap sebagai “musuh politik”. Jenis insiden ini menyebabkan masalah arus kas yang serius bagi perusahaan, dengan risiko tidak membayar (default risk) kepada mitra bisnis. Dampak ekonomi dari perang berbeda secara signifikan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, tergantung pada eksposurnya.
Perang di Ukraina saat ini yang melibatkan pemain utama Rusia dan Ukraina tentu memberikan efek buruk bagi aktivitas ekonomi, bisnis, investasi, dan keuangan di kedua negara. Embargo atau pemboikotan dilakukan oleh negara-negara yang bertentangan ideologi atau tujuan dengan negara-negara yang berperang sehingga melumpuhkan aktivitas ekonomi secara luas.
Pebisnis Rusia tidak bisa atau setidaknya sulit untuk bertransaksi dengan pebisnis dari negara lain dari kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya karena kebijakan pemboikotan untuk semua aktivitas ekonomi dan keuangan Rusia. Negara ini harus mengakui betapa sulitnya dihadapkan pada aksi boikot oleh negara-negara maju dimotori oleh AS sehingga menekan pertumbuhan ekonominya.
Ketegangan geopolitik juga meningkat di kawasan Timur Tengah, di antaranya melibatkan kelompok Hamas (Palestina) melawan militer Israel di Jalur Gaza. Ketegangan geopolitik yang lebih terkini juga terjadi di Laut Merah melibatkan kelompok Houthi di Yaman (yang kabarnya didukung oleh Iran) melawan militer AS dan Inggris terkait dengan angkutan kapal-kapal tangker minyak AS dan Inggris. Konflik di Laut Merah ini berpotensi mendorong kenaikan harga minyak dunia hingga menembus US$100 per barel lantaran terjadi lonjakan biaya angkutan laut beserta premi asuransinya.
Singkat kata, perekonomian negara yang terlibat perang pada umumnya mengalami pelemahan bahkan menjurus ke resesi ekonomi. Paralel dengan itu, anggaran perang meningkat luar biasa – bahkan melampaui ambang batas yang diperbolehkan – sehingga menurunkan tingkat kesehatan fiskal negara-negara yang berperang. Terjadi peningkatan yang signifikan atas rasio utang terhadap total produk domestik bruto (PDB) pada negara-negara yang terlibat perang.
Ketiga, embargo dan sanksi ekonomi. Jika sebuah korporasi dari suatu negara sedang berdagang dengan korporasi mitranya di sebuah negara yang berada di bawah embargo perdagangan atau sanksi ekonomi, maka risiko kehilangan bisnis terkuak lebar. Pembayaran awal sebagai syarat transaksi boleh jadi tidak akan pernah dibalas dengan pengiriman barang oleh penjual (eksportir) karena embargo dari negara-negara lain merusak transportasi darat, udara, dan laut.
Jika mitra bisnis di sebuah negara sedang dikenai embargo atau sanksi, maka mitra bisnis di negara lain bisa menderita kerugian besar, bahkan jika hubungan bisnis dimulai jauh sebelum ketegangan politiknya makin memburuk. Maka, analisis politik terhadap negara mitra menjadi penting sebelum transaksi disepakati untuk menghindarkan kerugian besar.
Baca juga: Tantangan Perbankan 2024 Kian Tajam
Mitigasi Risiko Politik
Kalangan pebisnis lebih menyukai untuk melakukan transaksi ekonomi dan keuangan di negara yang memiliki kestabilan politik yang tinggi. Secara global, pebisnis juga cenderung menyukai untuk melakukan transaksi bisnis dengan mitranya dari negara-negara lain yang memiliki kestabilan politik yang kuat. Kondisi yang kondusif ini mampu menjaga kestabilan biaya operasional secara keseluruhan.
Berbeda halnya jika pebisnis sudah memiliki perjanjian transaksi dengan mitra bisnisnya di negara yang sedang berkonflik sehingga risiko politiknya tinggi. Maka, potensi kenaikan biaya operasional harus ditanggung lantaran biaya premi asuransi kargo untuk menanggung risiko kerugian melonjak.
Kalangan pelaku industri keuangan, utamanya perbankan, juga akan menghadapi risiko yang meningkat jika memiliki debitur yang bertransaksi dengan mitra bisnis yang berdomisili di negara konflik. Hampir pasti suku bunga kredit akan “dinaikkan” seiring dengan kenaikan premi risiko kredit karena hasil asesmen atas profil risiko debitur meningkat.
Jika debitur berstatus eksportir, boleh jadi beban operasional juga akan meningkat karena premi asuransi kargo naik. Pengenaan premi risiko tersebut sebagai bagian dari strategi mitigasi risiko di kemudian hari. Yang harus dipertimbangkan dengan saksama oleh para bankir adalah kemungkinan terjadinya kerugian total (total loss) jika transaksi bisnis lintas negara yang dilakukan oleh debiturnya gagal total karena risiko geopolitiknya tidak terkendali.
Proteksi atas barang yang diekspor ke luar negeri atau sebaliknya barang yang diimpor dari luar negeri melalui moda transportasi apa pun (darat, laut, udara) diperlukan untuk melindungi kepentingan pembeli dan/atau penjual barang lintas negara tersebut.
Di dunia asuransi, tingkat risiko politik setiap negara di dunia sudah tersedia sebagai referensi untuk penetapan besaran premi. Makin tinggi tingkat risiko politik suatu negara, makin tinggi pula besaran premi yang harus dibayar oleh tertanggung atau pembeli polis asuransi kargo ke negara tersebut.
Bagaimana kondisi politik Indonesia? Sejauh ini stabilitas politik nasional tetap mampu dijaga oleh seluruh instrumen negara dan pemerintahan. Dengan demikian, pelaku industri keuangan dan perbankan domestik serta kalangan pebisnis tidak harus menanggung risiko politik yang tinggi sehingga tidak mendistorsi kinerja ekonomi dan sektor keuangan domestik.
Terbukti, ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir pascapandemi (2022-2023) mampu tumbuh rata-rata 5% per tahun dengan pertumbuhan kredit rata-rata sebesar 10,5% (10,38% di 2023 dan 11,35% di 2022) dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) rata-rata sebesar 6,5% (3,8% di 2023 dan 9,4% di 2022).
Angka realisasi investasi langsung pun meningkat dari sebesar Rp1.207 triliun di 2022 (melampaui target yang Rp1.200 triliun) menjadi Rp1.418 triliun di 2023 (melampaui target yang Rp1.400 triliun). Hal itu makin menegaskan preferensi investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Perkembangan data ekonomi dan perbankan tersebut diperkirakan berlanjut di 2024, dan sejauh ini stabilitas politik terpantau tetap terjaga dengan baik. Data kuantitatif yang baik tersebut memberikan konfirmasi bahwa tingkat risiko politik di Indonesia relatif rendah dan terkelola dengan baik sehingga aktivitas ekonomi, bisnis, dan investasi mendapat dukungan optimal dari sektor perbankan yang berada dalam kondisi yang sehat, resilien, dan kontributif bagi perekonomian nasional. (*)