Jakarta – Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) telah membuat dunia perbankan Paman Sam tersebut goyah. Bahkan, dampaknya telah dirasakan sejumlah bank di Eropa. Salah satunya Credit Suisse, yang ambruk dan telah diakuisisi UBS Group.
Di Indonesia sendiri, banyak yang berpendapat kolapsnya bank ternama tersebut tak berdampak langsung terhadap perbankan Tanah Air. Meski begitu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kejadian tersebut.
Bambang Widjanarko, Plt Deputi Komisioner Regional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, ada sejumlah lesson learned yang bisa diambil dari ambruknya SVB bagi industri perbankan Tanah Air. Pelajaran pertama adalah terkait dengan manajemen risiko. Ini berkenaan dengan tata kelola dan prinsip kehati-hatian.
“Ini ilmu paling dasar kita lah. Mestinya kita tidak boleh lengah menerapkannya,” ujar pria yang juga menjabat Deputi Komisioner Pengawas Bank Pemerintah dan Syariah ini, dalam virtual seminar Lesson Learned Kasus SVB, Kamis, 6 April 2023.
Dia melanjutkan, beberapa risiko yang dialami SVB, mulai dari concentration risk, market risk, liquidity risk, dan reputation risk, juga harus menjadi perhatian sekaligus pembelajaran perbankan di Tanah Air. Apalagi di tengah kondisi yang tidak kondusif, terkadang membuat penyampaian informasi secara terbuka bisa menjadi blunder.
“Kadang pemberitaan atau penyampaian informasi secara terbuka kadang tidak sejalan. Ini perlu kita harus perhatian,” ungkap Bambang.
Di sisi lain, OJK menilai bahwa stabilitas sistem keuangan (SSK) dan risiko sistemik harus menjadi prioritas dalam menangani bank bermasalah. Pasalnya, jika tidak tertangani dengan baik, pemulihannya membutuhkan dana yang luar biasa.
“Karena itu, stabiltas SSK menjadi kunci utama dalam menjaga industri perbankan menjadi stabil,” tutur Bambang.
Masih menurutnya, pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah kondisi likuiditas yang diterapkan regulator di negara lain. Sejatinya, regulator dalam mengeluarkan kebijakan harus memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri keuangan, sehingga likuiditas keuangan ample.
“Kalau kita dikasih lapangannya sempit, kita akan berdesakan. Tapi, kalau likuditasnya baik dan kebijakan likuiditasnya ample, saya kira masyarakat akan confident terhadap perbankan,”ungkap Bambang.
Selain itu, kata Bambang, peran dan fungsi penjaminan perlu menjadi perhatian. Indonesia harus memetik pelajaran bagaimana regulator negara lain bertindak dalam menangani kegagalan suatu bank yang tengah mendapatkan masalah.
“Kita bisa belajar bagaimana regulator negara lain dalam bertindak menangani bank bermasalah, saya kira ini akan menjadi pembelajaran. Sehingga nantinya, kita bisa membangun sebuah safety nett correction yang luar biasa di industi keuangan,” ujar Bambang.
Terakhir, Bambang menyoroti pembelajaran yang berkenaan dengan kerangka regulasi yang akomodatif dalam pengambilan keputusan. Dalam situasi yang sangat mendesak, regulator dituntut harus mampu mengambil kebijakan yang tepat dengan berbagai pertimbangan yang matang.
“Kecepatan dan ketepatan menjadi kunci utama. Ini akan menjadi penyelemat dan menjadi solusi dalam menghadapi bank yang bermasalah,”tutupnya.(*)