Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mengejar 22 obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga kini belum menyelesaikan kewajibannya. Kemenkeu pun tengah mencari terobosan baru demi kembalinya uang negara yang dipinjamkan kepada para pemilik bank pada saat terjadi krisis 1998 silam.
Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, DJKN, Kemenkeu Suparyanto mengatakan, pasca Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Lembaga penerusnya yakni PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menyelesaikan masa tugasnya, aset-aset terkait BLBI dikelola oleh DJKN Kemenkeu. “Prinsipnya kalau memang ada yang belum menyelesaikan kewajiban, kami akan tagih. Kami akan kejar sampai kapanpun,” ujarnya di Jakarta Rabu, 6 Desember 2017.
Dalam hal ini, beberapa peraturan Menteri keuangan pun diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan aset. Peraturan tersebut adalah PMK 71 tahun 2015 tentang pengelolaan aset eks PPA persero, yang diubah menjadi PMK 138 tahun 2017. Kemudian PMK no 110/2017 tentang pengelolaan aset eks BPPN oleh Menteri Keuangan. Lalu, PMK No 280 tahun 2009 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani sisa tugas tim pemberesan BPPN.
Aset eks BPPN dan PPA yang dikelola DJKN ini meliputi aset kredit, properti, inventaris, rekening nostro maupun saham. Rekening nostro atau nostro account adalah rekening yang dibuka atau dimiliki oleh suatu bank pada bank korespondennya (depository correspondent) di luar negeri. Rekening tersebut biasanya dalam mata uang yang berlaku di negara bank tersebut.
“Termasuk dalam aset kredit adalah PKPS, Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dari pada obligor, karena itu hak tagih negara. Jadi di samping aset kredit yang berasal dari perjanjian kredit antara bank asal dengan nasabahnya, juga aset kredit yang berasal dari tagihan PKPS,” katanya.
Lebih lanjut dia menilai, aset-aset kredit tersebut setelah besarannya diketahui secara pasti, maka selanjutnya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). “Pengelolaannya adalah kita melakukan penatausahaan, kemudian aset kredit yang telah ada dan besarnya pasti menurut hukum setelah kita verifikasi, diserahkan dan diurus oleh PUPN,” ucapnya.
Sedangkan untuk PKPS, pada saat diserahkan ke DJKN, jumlahnya mencapai 25 obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah 7 obligor yang penyelesaian kewajibannya dengan skema Akta Pengakuan Utang (APU) dan 2 obligor MRNIA (Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement).
Seiring dengan hal tersebut Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga meminta pemerintah untuk dapat mencari terobosan solusi dalam menyelesaikan kasus ini. Menurutnya, terobosan seperti tax amnesty yang diakukan pada para penghindar pajak, bisa jadi pertimbangan meski penerapannya tak harus sepenuhnya sama.
“Ini adalah dosa masa lalu yang tak bisa dilupakan dan harus diselesaikan,” tukasnya.
Dia juga menilai, negara harus terus berupaya untuk mengejar para obligor BLBI yang hingga kini belum memenuhi kewajibannya. Upaya tersebut penting dilakukan demi memberikan kepastian hukum. “Kalau menurut saya ini masih bicara tentang kepastian hukum. Bahwasanya mereka harus bayar, dan kalau pun bayar itu akan ditindaklanjuti, itu adalah kepastian hukum,” tegasnya.
Kepastian hukum menjadi salah satu kunci penyelasian kasus ini. Hal ini juga misalnya terkait dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan oleh BPPN kepada sejumlah obligor. “Kepastian hukum bahwa dia sudah membayar lunas, kemudian dia diberi keterangan lunas, itu harus ditegakkan,” paparnya.
Hingga saat ini, informasi terkini mengenai penyelesaian kasus BLBI sendiri jarang disampaikan oleh pemerintah. Karena itu, masyarakat pun tidak mengetahui perkembangan kasus kucuran dana triliunan rupiah demi menyelamatkan perbankan saat krisis terjadi pada 1998 silam. Dia menilai, pembaruan informasi mengenai upaya yang sudah dilakukan pemerintah pun perlu dilakukan.
“Pemberian informasi itu dinilai sebagai bentuk kepastian hukum,” katanya.
Pasalnya, tanpa adanya informasi yang disampaikan kepada masyarakat, akan terbentuk pandangan bahwa pemerintah melakukan pembiaran. Oleh sebab itu, Kepastian hukum harus dijaga, karena itu kunci untuk mendapatkan kepercayaan dari semua pihak, baik pihak luar negeri maupun dalam negeri. “Tapi bagaimana kemudian kita menjaga kepastian hukum ini, menjadi penting juga. Yang salah akan ditindaklanjuti, yang sudah bayar akan benar-benar mendapatkan kebebasannya,” tegasnya.
Supariyanto mengakui, terkait dengan SKL yang sekarang dipermasalahkan kembali oleh penegak hukum, pada prinsipnya memang merupakan kebijakan dari pemerintah. Menurutnya, ada inpres No 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham ini yang memang secara prosedural sudah dilakukan.
“Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, di mana untuk SKLnya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement) di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ucapnya.
Untuk diketahui, sebelum Kementerian Keuangan menangani para obligor ini, sebanyak 16 dari para obligor memang sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI. Pada saat ditangani oleh dua Lembaga penegak hukum itu, penyelesaian ditempuh menggunakan jalur pengadilan alias (court settlement) karena adanya dugaan tindak pidana.
“Namun, dugaan itu tak terbukti. Maka oleh Kejaksaan dan Kepolisian, itu dikembalikan ke Kementerian Keuangan. Dan penyelesaiannya tak lagi lewat pengadilan atau out of settlement. Caranya dengan PUPN,” imbuh Suparyanto.
Setelah diserahkan ke PUPN, tahapan penyelesaian pun dilakukan. PUPN akan melayangkan panggilan kepada obligor. Setelah itu, akan ada pernyataan bersama kesanggupan waktu penyelesaian kewajiban. Jika obligor menyatakan tidak sanggup menyelesaikan kewajibannya, maka akan diterbitkan diterbitkan penetapan jumlah piutang. “Kemudian, dilakukan penyitaan dan pelelangan,” paparnya.
Menurut Suparyanto, terkait aset kredit, kini tinggal 22 obligor yang masih ditangani oleh PUPN. Pasalnya, sudah ada tiga obligor yang menyelesaikan kewajibannya. Yaitu Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putih Rai sebagai pemilik Bank Tamar dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura. “Sisanya 22 obligor masih di PUPN dan KPKNL. Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun dari 22 obligor yang masih kita urus,” ujarnya.
Jumlah aset tetapsendiri berjumlah sekitar 4.000 unit. Aset ini meliputi properti baik rumah maupun gedung kantor, sawah, eks perkebunan kelapa sawit, hingga resort.
Hingga kini, pengembalian atas aset eks BPPN dan eks PPA telah mencapai Rp7,7 triliun. Rinciannya, pada 2007, pengembalian aset mencapai Rp228,5 miliar. Di tahun berikutnya, pengembalian melonjak menjadi Rp1,55 triliun. Lalu kembali turun menjadi Rp273,79 miliar pada 2009. Selanjutnya, pengembaliannya sebesar Rp561,29 miliar pada 2010, Rp1,04 triliun pada 2011, Rp1,13 triliun pada 2012, dan Rp1,44 triliun pada 2013. Pengembalian pada 2014 hingga 2016 secara berturut-turut adalah Rp539,99 miliar, Rp363,2 miliar dan Rp550,23 miliar.(*)