Jakarta–Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) secara resmi telah menyetujui untuk mengundangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengampunan pajak (Tax Amnesty) menjadi UU melalui rapat paripurna pada Selasa (28/6) kemarin.
Meski sempat diwarnai aksi penolakan dan sejumlah catatan dari tiga fraksi DPR, namun parlemen akhirnya memutuskan untuk tetap mengesahkan UU Pengampunan Pajak, setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangannya terkait RUU Tax Amnesty tersebut.
Dengan adanya UU Tax Amnesty ini, para wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah. Adapun tarif ini dibagi menjadi tiga, yakni bagi usaha kecil menengah, wajib pajak (WP) yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri, dan deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi.
Jika dirincikan, untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang menyampaikan hartanya sampai Rp10 miliar maka akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5%, sedangkan yang lebih dari Rp10 miliar dikenai 2%. Untuk WP yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan dikenakan tarif tebusan sebesar 2% (periode Juli-September 2016), 3% (Oktober-Desember 2016), dan 5% untuk periode (Januari-31 Maret 2017).
Sementara untuk WP yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017. Penetapan periode ini menjadi penting karena UU Tax Amnesty ini akan berlaku pada 1 Juli hingga 31 Maret 2017.
Dengan pengesahan UU pengampunan pajak tersebut, asumsi penerimaan dari tax amnesty diperkirakan sebesar Rp165 triliun, akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Sehingga akan membawa dampak positif bagi postur anggaran pemerintah.
Ketua Panitia Kerja RUU Pengampunan Pajak Soepriyatno menilai, disahkannya UU Tax Amnesty ini tentu akan menambah pendapatan negara dari sektor pajak dan diharapkan akan memberikan dampak positif bagi postur anggaran pemerintah serta perekonomian nasional.
“Penerimaan tax Amnesty ini (Rp165 triliun) akan masuk APBN-P karena sudah masuk dalam rancangan APBN-P 2016,” ujarnya.
Dalam proses pengesahan UU Tax Amnesty ini, ada beberapa penolakan dan sejumlah catatan dari fraksi yang hadir dalam rapat Paripurna DPR.
Anggota DPR Fraksi PKS, Ecky Awal Muharam menolak keputusan pimpinan Rapat Paripurna yang dianggap tidak mengakomodir sikap dari fraksi lain. “Kami keberatan. Kami menyetujui untuk dilakukan voting,” tegas Ecky yang menganggap isi UU itu tidak memenuhi unsur yang berkeadilan.
Bahkan sebelum RUU Pengampunan Pajak diundangkan, Anggota Fraksi PKS lainnya, Zulkieflimansyah menilai, RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah terlalu banyak memberi ruang kepada pemilik dana besar untuk diampuni kesalahan-kesalahannya terkait penyimpangan membayar pajak.
“Kami mengusulkan agar keputusan untuk mengesahkan RUU Pengampunan Pajak ini bisa dilakukan melalui forum tersendiri untuk bermusyawarah mendapatkan kata mufakat. Atau bahkan perlu dilakukan voting,” katanya.
Di tempat yang sama, Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Marwan Cik Asan mengatakan, pada Pasal 1 ayat (1) seharusnya pengampunan pajak hanya berlaku untuk menghapus sanksi administrasi dan denda pajak. “Sedangkan pajak terutang harus tetap di bayar,” jelasnya.
Pasal 1 ayat (1) berbunyi: “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam UU ini”
Selain itu, Fraksi Demokrat juga tidak menyepakati definisi harta yang tertuang di Pasal 1 ayat (3) yang meyiratkan semangat untuk melegalkan dana-dana dari hasil tindak kejahatan. “RUU ini diharapkan tidak menjadi sarana legalisasi dana dari tindak pidana kejahatan, seperti pencucian uang, korupsi atau dari penjualan narkoba,” ucapnya. (*)
Editor: Paulus Yoga