Oleh: Mikail Arkana Mo
Penulis adalah Pengamat dari The Asian Economic and Capital Market Instititut
GONTA-GANTI direksi adalah hak pemegang saham. Tapi, bongkar pasang direksi di bank-bank BUMN selama tujuh bulan tiga kali tentu menjadi tanda tanya. Apalagi sebagai perusahaan public, dan tentu bank mempunyai tata kelola tersendiri.
Jadi direksi bank di zaman Jokowi di era Menteri Rini Soemarno tak bisa tidur nyenyak. Setiap saat bisa diganti. Tak peduli kinerja bagus atau buruk. Dan, hari ini bisa dipastikan Suprajarto dan tiga anggota direksi BRI diperkirakan dicopot, tanpa alasan yang jelas meski masa tugasnya masih berlum berakhir.
Perombakan direksi dan komisaris adalah hak pemegang saham BUMN. Mau tiap dua bulan ada pergantian juga sak suka-sukannya. Saham merah putih bisa melakukan apa saja, suka suka pemegang saham, mau diganti atau tidak dirombak. Jadi, direski bank selalu “dag-dig dug” setiap saat.
Mengapa susunan direksi BNI dan Mandiri dalam RUPSLB ini tidak bergerak, sementara BRI “Sang Pencetak Laba” terbesar justru akan dibongkar? Mengapa direksi BRI “Sang Pembayar Pajak” terbesar direksinya dicopot di tengah jalan? Suka-suka pemegang saham. Itu tak ada urusan dengan kinerja dan nilai perusahaan yang selama ini menjadi Key Performance Indicator (KPI)
Bisa jadi benar. Ada tiga kategori BUMN. Satu BUMN yang kerja benar dengan kinerja. Dua, BUMN yang “hura-hura” ikut rapat koordinasi kemana-mana Ibu Rini pergi “ramai-ramai” hampir tiap minggu selama 4 tahun terkahir dengan alasan sinergi untuk negeri dan ketiga “rupa-rupa” ke sana ok eke sini pun oke alias santai-santai.
Bahkan, dalam “guyonan” di kalangan pasar modal, mengapa Maryono dan Suprajarto diganti yang bisa jadi tidak ikut rombongan naik haji Ibu Menteri beberapa waktu lalu. Penulis yakin rombongan haji Ibu Menteri sungguh-sungguh ibadah dan tidak ada hubungan dengan pergantian. Itu hanya guyon saja, meski jujur saja banyak direksi BUMN yang kerjanya ikut kemana Ibu Rini pergi agar tidak diganti.
Pergantian Direktur Utama bank-bank selama ini lewat Tim Penilai Akhir (TPA) dan ketuanya adalah Presiden sendiri. Sementara Presiden dalam Sidang Kabinet Terbatas sampai Oktober 2019 tidak ada perombakan direksi BUMN termasuk bank. Tapi, tentu pergantian Dirut BTN, dan “promosi” Suprajarto, Dirut BRI ke BTN1, ketentu juga asumsinya sudah diketahui oleh Presiden.
Mana berani Menteri Rini mengganti dirut bank tanpa persetujuan Presiden? Atau, Presiden dan Menteri Rini sedang memainkan opera sabun. Atau, informasi yang disodorkan Menteri Rini ke Presiden hanya tour of duty? Perpindahan Suprajarto ke BTN bukanlah sekedar tour of duty, tapi public melihat ini semacam “hukuman”. Dan, Suprajarto dengan alasan tata kelola dan perundangan, mengundurkan diri dan menolak “promosi” untuk “benah-benah” BTN.
Apakah ini sama dengan Asmawi Sjam yang semula jadi Direktur Utama BRI lalu ke Askrindo? Meski terlihat sama turun pangkat, mengapa Suprajarto menolak?
Tentu tidak sama, Asmawi Sjam habis masa tugasnya. Sementara Suprajarto masih belum habis. Penolakan Suprajarto dilihat dari kaca mata investor lebih pada kepatuhan dan penalty bukan reward. Bisa jadi, Suprajarto bertanya-tanya apa salah saya? Mengapa kesalahan Direksi Garuda yang membuat laporan keuangan “semu” dan dihukum oleh OJK, Bursa Efek Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap tak ada RUPSLB dengan ganti pengurus? Tapi sudahlah, itu hak pemegang saham dalam hal ini Kementerian BUMN.
Tapi, dari kacamata profesional bank. Langkah Suprajarto sungguh “ksatria”. Apalagi, di zaman rebutan jabatan dan bahkan minta jabatan dengan loby sana loby sini. Langkah Suprajarto mendapat apresiasi kalangan profesional. Publik dan para profesional mengapresiasi langkah mundur suprajarto karena bukan bentuk reward tapi pinalty. Dan, langkah mundur Suprajarto bisa jadi karena perundangan. Dalam POJK 55/Tahun 2016 tentang tata kelola.
Nah, karena Suprajarto masih jadi direktur utama saat RUPSLB BTN, dan UU Perbankan dan POJK 55 tidak membolehkan/melarang rangkap jabatan dirut bank, sehingga rupslb BTN bisa jadi melanggar UU dan POJK. Dengan demikian RUPSLB bisa jadi batal demi hukum, karena UU Perbankan dan POJK kedudukannya lebih tinggi.
Skenario Direksi BRI
Sekali lagi itulah suka suka pemegang saham. Hari ini, Senin 2 September 2019, RUPSLB BRI digelar. RUPSLB BRI merupakan RUPSLB dari lima BUMN, yaitu PGAS, Mandiri, BTN dan BNI terakhir BRI yang harusnya BRI paling awal karena pertimbangan “kemanusiaan” yaitu Suprajarto sedang menyiapkan pernikahan anak bungsunya sehingga diundur 2 September 2019.
Rapat yang akan berlangsung siang ini, hampir dipastikan Sunarso akan menggantikan Suprajarto. Menurut rumor di kalangan investor di pasar modal, Sunarso sudah dipersiapkan untuk menjadi BRI1, bahkan seharusnya sudah sejak RUPST Tahunan. Tapi, entah kenapa tidak gol, bisa jadi belum dapat izin Presiden – kerena posisi Dirut harus restu Presiden.
Sementara direksi lain yang diperkirakan akan dicopot ada tiga. Nama-nama siapa-siapa masih spekulasi. Ada yang menyebut lingkaran Suprajarto akan diputus. Sementara dua direksi lama sudah dijanjikan posisi Wadirut.
Hasil RUPSLB BNI yang “menghilangkan” nama Catur Budi Harto sebagai Direktur BNI, spekulasi baru muncul. Catur Budi Harto yang penduduk asli BRI akan dikembalikan setelah jalan jalan ke BTN dan BNI. Posisi direksi yang lowong diisi oleh Ario Bimo, GM BNI Tokyo yang menjadi representative milenial sesuai keinginan Ibu Rini.
Rumor di pasar, Catur Budi Harto akan jadi Wadirut. Jadi, siapa sebenarnya akan jadi Wadirut? Calonnya ada empat yaitu, Catur Budi Harto, Haru Kusmahargyo dan Priastomo serta Hexana Tri Sasongko yang sekarang menjadi Direktur Utama Jiwasraya. Satu nama lain yang bakal menduduki posisi direktur adalah impor, dikabarkan dari Telkom yang sebenarnya sudah dijanjikan pada RUPST bulan Mei lalu. Tapi batal masuk.
Heboh pergantian direksi ini harusnya tidak terjadi. Meski ini adalah hak pemegang saham, tapi pergantian yang sering dan mendadak merupakan perwujudan tidak ada transparansi. Pergantian direksi dengan tour of duty dari BRI ke BTN tentu bukanlah promosi, tapi lebih pada hukuman.
Sudah harusnya ke depan OJK juga punya peran dan bukan stempel semata dengan tetap mengedepankan tentang tata kelola yang tertulis dalam POJK 55 Tahun 2016. Itu POJK yang harus diikuti semua bank, bukan hanya pajangan.
Hal lain, ke depan pergantian direksi sebaiknya menyangkut kinerja dan peran BUMN. Jangan sampai menjadi direksi tugasnya hanya “rakor” ke sana ke mari. Di BUMN itu sudah ada KPI yang sangat lengkap, tapi sepertinya belum dijalankan dengan baik. Sehingga kesan politisasi tidak terjadi lagi. Soalnya, BUMN kalau rusak yang jadi tumpuan juga uang APBN yang sumbernya dari pajak masyarakat.
Sekali lagi gonta-ganti direksi dan komisaris itu hak pemegang saham. Tulisan ini bukan menggugat soal bongkar pasang direksi dan komisaris. Tapi sebagai profesional juga punya harga. Juga, sebagai perusahaan juga punya tata kelola yang diatur Undang-undang dan POJK jika itu bank. Apalagi, bank sebagai BUMN — yang selama ini menjadi tumpuan dalam menyetor kas Negara. Mengurus bank harus hati-hati di musim kredit macet di tengah perdagangan dunia yang lesu akibat Perang Dagang AS-China.
Ukurannya, kinerja dan agent development meski agak sulit menyatukan dua peran itu. Tapi, gonta ganti direksi, “bolak balik” dari satu tempat ke tempat lain yang seperti tanpa rencana jangka panjang. Harusnya “tour of duty” mempehitungkan kinerja dan size. Ada sistem yang jelas.
Sebab, BUMN itu singkatannya Badan Usaha Milik Negara. Harus Good Corporate Governence (GCG). Tapi, jika pergantian direksi di bank-bank BUMN seperti pekan lalu dan pekan ini dikonotasikan berbeda oleh masyarakat. Tanpa pola yang jelas dan rencana yang matang. Terkesan like and dislike. Jadi, tidak berlebihan jangan salahkan jika BUMN disingkat Badan Usaha Milik Nenek moyangnya. Problem BUMN adalah problem pemegang saham.
(*)