Oleh Ekonom Senior Ryan Kiryanto
Di TENGAH pandemi Covid-19 yang masih menghantui Indonesia, merebak kabar baik dari neraca perdagangan Indonesia yang kembali surplus pada Juni 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia pada bulan tersebut sebesar US$1,32 miliar. Surplus ini terutama berasal dari sektor nonmigas US$2,38 miliar. Sedangkan di sektor migas terjadi defisit US$1,06 miliar.
Yang menggembirakan, surplus kali ini merupakan surplus ke-14 sejak Mei 2020. Kabar baiknya adalah surplusnya diiringi oleh peningkatan ekspor dan impor, yang mengindikasikan roda perekonomian pada bulan berjalan bergerak cukup baik.
Apalagi nilai surplus pada Juni 2021 didorong oleh nilai ekspor yang lebih besar daripada nilai impor. Ekspor tercatat US$18,55 miliar, naik 9,52% secara bulanan (mtm) dan 54,46% secara tahunan (yoy) dibandingkan Juni tahun lalu. Sedangkan impor pada Juni 2021 tercatat US$17,23 miliar, naik 21,03% (mtm) atau 60,12% (yoy).
Alhasil, selama semester I-2021, secara kumulatif neraca perdagangan mencetak surplus US$11,86 miliar. Ini menjadi salah satu indikator ekonomi yang positif sehingga mampu menopang cadangan devisa dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Ekspor Nonmigas Sebagai Andalan
Secara kumulatif, nilai ekspor Januari–Juni 2021 mencapai US$102,87 miliar, naik 34,78% yoy. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$97,06 miliar, naik 34,06% yoy. Dari komoditasnya, lonjakan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada besi dan baja sebesar US$486,4 juta (32,31% mtm), sedangkan penurunan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$846,5 juta (30,89% mtm). Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari– Juni 2021 naik 33,45% yoy. Demikian juga ekspor hasil pertanian naik 14,05% yoy serta ekspor hasil tambang dan lainnya naik 41,21% yoy.
Ekspor nonmigas Juni 2021 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$4,13 miliar, disusul Amerika Serikat US$2,14 miliar dan Jepang US$1,36 miliar, dimana kontribusi ketiganya mencapai 44,09%. Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar US$3,59 miliar dan US$1,44 miliar.
Dengan pulihnya perekonomian Tiongkok dan AS, hal ini memberikan sentimen positif untuk peningkatan ekspor nonmigas (produk manufaktur) dan komoditas primer berasal dari sumber daya alam (pertambangan dan pertanian dalam arti luas) bernilai tambah. Pasar Eropa juga menarik sejalan dengan melonggarnya aktivitas ekonomi di kawasan ini.
Alhasil, ekspor nonmigas sepertinya akan terus menjadi andalan untuk peningkatan ekspor baik karena produksi di dalam negeri yang makin membesar maupun karena tingkat permintaan dari mancanegara yang meningkat sejalan dengan pelonggaran kebijakan restriktif karena pandemi Covid-19.
Di sisi impor, nilai impor Juni 2021 mencapai US$17,23 miliar, naik 21,03% mtm dibandingkan Mei 2021 atau naik 60,12% yoy dibandingkan Juni 2020. Impor migas Juni 2021 senilai US$2,30 miliar, naik 11,44% mtm atau 239,38% yoy tidak terlalu mengejutkan mengingat posisi Indonesia sebagai net impoter untuk minyak dunia.
Sementara impor nonmigas Juni 2021 senilai US$14,93 miliar, naik 22,66% mtm atau 48,08% yoy, mencerminkan geliat di sektor riil berbahan baku impor nonmigas sudah terlihat. Ini terlihat dari lonjakan impor golongan barang nonmigas terbesar Juni 2021 yang terdiri dari mesin dan peralatan mekanis sebesar US$506,7 juta (28,31%).
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama semester I/2021 adalah Tiongkok US$25,27 miliar (31,79%), Jepang US$6,56 miliar (8,26%), dan Korea Selatan US$4,45 miliar (5,60%) merupakan pemasok produk-produk elektronik dan otomotif (kelompok barang konsumtif) dan permesinan (kelompok barang produktif) untuk mendukung pabrikasi di Indonesia. Ini terlihat dari peningkatan impor barang konsumsi US$1.618,4 juta (22,55% mtm), bahan baku/penolong US$16.325,6 juta (30,96% mtm), dan barang modal US$2.163,1 juta (19,68% mtm).
Sekali lagi, lonjakan impor bahan penolong atau barang setengah jadi dan barang modal memberikan indikasi positif bahwa kegiatan investasi di sektor manufaktur sudah bergerak di zona ekspansi sebagaimana tercermin dari angka Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur bulan Juni yang di atas 50 atau zona ekspansif, tepatnya 53,5, meskipun sedikit menurun dari Mei 2021 yang 55,3.
Dengan demikian kenaikan impor jangan selalu ditafsirkan negatif sepanjang barang yang diekspor adalah bahan baku, bahan penolong atau barang setengah jadi dan barang modal. Barang modal adalah aktiva tetap yang dihasilkan oleh satu bisnis yang pada gilirannya digunakan oleh bisnis kedua untuk menghasilkan barang atau jasa konsumen.
Barang modal termasuk aktiva tetap, seperti bangunan, mesin, peralatan, kendaraan, dan alat yang digunakan organisasi untuk menghasilkan barang atau jasa. Dalam defisini lain, barang modal adalah barang tahan lama yang digunakan dalam produksi barang atau pelayanan.
Di sini barang modal termasuk salah satu dari tiga barang produsen dengan dua lainnya adalah tanah dan pekerja. Ketiganya dikenal sebagai faktor produksi primer. Karakteristik barang impor ini adalah untuk mendukung kegiatan investasi atau pabrikasi di sektor manufaktur. Output industri yang dipasarkan ke luar negeri sebagai barang ekspor akan menghasilkan penerimaan luar negeri atau devisa sehingga bisa memperkuat cadangan devisa dalam negeri yang tersimpan di Bank Indonesia (BI).
Proyeksi Surplus Hingga Akhir Tahun
Di bulan-bulan berikutnya, proyeksi surplus masih memungkinkan kendati bayang-bayang pandemi Covid-19 masih mengikuti. Hanya saja, boleh jadi surplus untuk Juli-Agustus akan tertekan sebagai dampak penerapan PPKM Darurat mulai 3 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021 dengan kemungkinan diperpanjang jika angka harian kasus positif Covid-19 belum di bawah 10.000 orang.
Namun demikian, Indonesia diperkirakan masih mampu mencetak surplus di tahun ini, tidak kalah dibandingkan surplus 2020 yang sebesar US$21,74 miliar. Hal ini juga dimungkinkan mengingat harga minyak dunia berangsur-angsur stabil pada kisaran 70 dolar AS per barel.
Minyak berjenis Brent terpantau dijual pada harga US$73,05/barel, sedikit naik 0,4% dari perdagangan sebelumnya. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dibanderol US$ 71,24/barel dengan persentase peningkatan yang sama dengan minyak Brent.
Dengan PPKM Darurat di Jawa dan Bali serta beberapa propinsi/kabupaten di luar Jawa dan Bali mulai 6 Juli 2021, maka mobilitas orang dan barang melalui semua jalur/moda transportasi akan menekan tingkat konsumsi bahan bakar minyak sehingga bisa mengurangi nilai impor minyak. Alhasil ini akan memperbaiki posisi neraca dagang Indonesia selalu berada di posisi surplus setiap bulannya. (*)