Jakarta – Fintech lending dinilai efektif menjadi pelengkap industri perbankan di dalam penyaluran dana ke sektor usaha mikro. Bahkan nilai pinjaman fintech lending ke sektor pedagangan eceran mencapai 70 persen dari total penyaluran dana industri yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Peneliti Indef Nailul Huda, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 12 September 2018. Menurutnya, lini perdagangan eceran merupakan sektor terbesar yang dibiayai oleh fintech lending. Di mana di sektor tersebut rata-rata level usahanya adalah mikro, yang kemudian disusul oleh sektor pertanian.
“Porsinya 70 persen mereka itu ke sektor perdagangan eceran, dan 20 persen masuk ke sektor pertanian,” ujarnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Juni 2018, diketahui sudah ada aliran pinjaman senilai Rp7,64 triliun yang tersalur dari berbagai penyelenggara fintech lending. Artinya, jika 70 persennya diserap oleh sektor pedagang eceran, maka ada sekitar Rp5,35 triliun dana dari fintech yang mengalir ke usaha mikro.
Berdasarkan data International Finance Corporation (IFC), pelaku UMKM di Indonesia masih kesulitan mendapatkan pembiayaan dari sumber-sumber konvensional untuk mendorong bisnisnya. Hal ini tercermin dari kesenjangan pembiayaan untuk sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai US$166 miliar atau sekitar 19 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) di 2017.
Sejauh ini, pinjaman perbankan ke sektor usaha mikro rata-rata baru mencapai sekitar 13—14 persen. Oleh sebab itu, kata dia, meminjam lewat fintech lending menjadi salah satu solusi untuk menggarap pangsa pasar kredit mikro yang belum dioptimalkan perbankan.Persyaratan yang mudah dan proses yang cepat menjadi alasan para pelaku usaha mikro beralih ke fintech lending.
Sektor industri keuangan yang berbasis teknologi ini dianggap menjadi solusi alternatif untuk menghindarkan para pelaku usaha dari jeratan rentenir. “Fintech ini kan memang persyaratannya mudah banget. Di mana UMKM ini kan unbankeable, susah masuk ke bank. Mereka pasti akan mencari alternatif,” ucapnya.
Baca juga: YLKI Desak OJK Blokir Fintech Ilegal
Oleh karenanya, tambah dia, diharapkan ke depannya, kerja sama antara fintech lending dengan perbankan dapat terus ditingkatkan. Dengan demikian, fintech lending dapat menjadi perpanjangan tangan perbankan guna menggarap kredit usaha mikro. “Bank ini kan sulit menjangkau yang UMKM ini, khususnya mikro. Itu adalah kelebihan dari fintech. Kalau bisa dikolaborasikan, bagus banget,” jelasnya.
Senada, Ekonom Universitas Indonesi (UI) Lana Soelistianingsih menambahkan, bahwa dirinya tidak heran dengan temuan bahwa mayoritas penyaluran dana fintech lending masuk ke nasabah kredit mikro. Menurutnya, hal ini terjadi karena fintech bisa menjadi alternatif pilihan pinjaman bagi pelaku usaha mikro yang rata-rata unbankable.
“Pelaku mikro itu sering mengeluh karena mereka itu tidak bankable dari sisi agunan, sisi kolateral, terus suka dimintai berbagai persyaratan arus kas dll. Mereka kesulitan,” paparnya.
Dia menilai, aturan meminjam di fintech yang longgar, pada akhirnya membuat peminjam lebih memilih kredit online ini dibandingkan bank. Maka dari itu, fintech menjadi pelengkap peran perbankan untuk menyalurkan dana ke usaha mikro. Hanya saja penyelenggara fintech mesti berhati-hati memberikan pinjaman ke usaha mikro. Pasalya, risiko gagal bayar sektor usaha ini cukup besar.
Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi sempat mengatakan, transaksi peminjaman lewat fintech paling tinggi terdapat di kisaran pukul 01.00—06.00. Tempat transaksi borrower-nya sendiri diketahui mayoritas berada di pasar-pasar ataupun terminal.
“Jadi bisa ditebak siapa yang pinjam? Yaitu mereka yang butuh dana cepat untuk nambah modal untuk jualan sayur di pasar atau pedagang pulsa di terminal,” tutur Hendrikus, beberapa waktu lalu.
Meminjam ke fintech lending bagi usaha mikro pun dianggap lebih pasti bila dibandingkan ke perbankan. Pasalnya menurut Hendrikus, perbankan akan agak malas mengurusi pinjaman kecil yang diajukan oleh pelaku usaha mikro. Alasan ini pulalah yang membuat prosedur pinjaman terasa lama dan sulit dikabulkan.
“Mau pinjam Rp1 miliar atau Rp1 juta kan sama saja prosedunya di bank. Bank lebih milih pinjaman yang besar,” tegasnya. (*)