Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
EKONOMI Indonesia tampaknya tak bergantung jumlah menteri di kabinet. Situasi apa pun, ekonomi Indonesia baik-baik saja. Jumlah kabinet yang gendut akan menambah boros dan peluang korupsi makin berjemaah.
Menurut kabar, pemerintah Prabowo-Gibran akan membentuk kabinet dengan 40 menteri, dari sebelumnya (pemerintah Jokowi-Amin) 34 menteri. Periode sebelumnya, Jokowi-Kalla, juga membentuk kabinet dengan jumlah menteri yang sama: 4 menteri koordinator (menko) dan 30 menteri. Sementara, rezim SBY-Kalla 3 menko dan 31 menteri. Tidak banyak perubahan selama 20 tahun terakhir ini.
Susunan kabinet memang belum diumumkan, tapi tarik-menarik tajam, pro dan kontra, terjadi dalam wacana penyusunan kabinet ini. Kabar tentang jumlah kabinet yang 40 itu sebenarnya belum pasti, meski dari sumber resmi. Pendapat sejumlah pengamat, rencana penambahan kabinet ini untuk menampung koalisi yang ikut bergabung memenangkan Prabowo-Gibran. Tidak hanya partai-partai yang lolos ke Senayan, tapi juga partai gurem. Termasuk partai yang sebelumnya berada di luar koalisi pemenangan Prabowo-Gibran.
Baca juga: Fraksi PDIP Minta Defisit Fiskal 0 Persen pada Awal Pemerintahan Prabowo
Namun, jadi atau tidak jadi kabinet dengan 40 menteri, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik-baik saja. Dari tahun ke tahun ya seperti itu, tidak berkualitas, karena didorong oleh konsumsi masyarakat dan belanja negara yang disokong oleh utang pemerintah. Pada zaman COVID-19 ekonomi tetap tumbuh. Tak ada COVID-19 juga tumbuh. Relatif sama. Pun ketika terjadi pemilu, dengan pertumbuhan 5,11 persen. Tak ada pemilu juga tumbuh, yaitu 5,03 persen. Sepertinya, dalam kondisi apa pun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berkualitas. Meski pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah negara, tapi karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk KW2, maka masih belum bisa menampung tenaga kerja.
Laporan Kompas menyebutkan, Gen Z (lahir 1997-2012) makin sulit cari kerja di sektor formal. Selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut. Generasi Z makin sulit mencari kerja di sektor informal dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Di rezim kedua Jokowi tampak makin sempit lapangan pekerjaan.
Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS). Selama periode 2009-2014, serapan tenaga kerja di sektor formal sebanyak 15,6 juta orang. Jumlahnya menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019 dan merosot tajam pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang. Tidak hanya itu. Waktu menunggu kerja juga makin lama. Pendek kata, habis lulus sekolah atau kuliah tidak langsung kerja, tapi masih menunggu relatif lama.
Pembangunan infrastruktur, jumlah utang yang makin besar (Rp8.000 triliun), juga belum bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Janji pertumbuhan ekonomi 7 persen tidak pernah terbukti. Yang menjadi pertanyaan, dengan data pengangguran dan kemiskinan yang tidak bergerak secara signifikan, ternyata program makan gratis, bagi-bagi sembako, sangat efektif untuk memenangkan pilpres.
Pemerintah Prabowo-Gibran harus mengubah strategi pembangunan. Jika masih menggunakan cara Jokowi yang tampak berbuat baik kepada rakyat dengan program bagi-bagi sembako, tidak akan mengubah jumlah serapan tenaga kerja. Program makan gratis memang efektif untuk menarik hati masyarakat miskin dan pengangguran dalam memenangkan pilpres. Tapi, program makan siang gratis yang nilai fiskalnya Rp450 triliun akan menjadi beban berat fiskal.
Akan lebih baik jika program beternak orang miskin ini tidak lagi dijadikan andalan dalam ajang kontestasi dalam pesta demokrasi ini. Pilihlah program yang tidak bikin madesu (masa depan suram) bagi Gen Z. Kenapa tidak fokus saja di program pendidikan tinggi, misalnya, dan menarik investor asing agar mau membangun pabrik di Indonesia. Bisa juga dengan menekan tingkat kebocoran APBN, yang menurut Prabowo dalam kampanyenya sebesar 25 persen. Perlu ditekan lebih rendah.
Baca juga: Berat! Di Zaman “Distrust”, Gaji Karyawan Kena “Palak” untuk Tapera, Apa Urgensinya?
Jika melihat data pertumbuhan selama 15 tahun terakhir, seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah lapangan pekerjaan, dan pengangguran, Indonesia 2045 tidak akan menghasilkan generasi emas. Justru yang ada generasi cemas. Sulit mencari pekerjaan. Jangankan membeli rumah, ingin mencicil sepeda motor pun sulit. Karena sudah masuk blacklist lembaga keuangan. Karena hampir 2 juta Gen Z masuk kelompok “mati perdata” yang tak akan bisa akses ke lembaga keuangan. Bank-bank pun gelisah melihat data anak-anak muda yang masuk blacklist dan rendah kualitas pekerjaannya.
Jumlah menteri mau 34, atau mau 40 menteri, atau lebih dari itu tidak masalah selama bukan untuk bagi-bagi kue politik, tapi untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dalam membangun moral, akal, dan kompetensi anak bangsa. Bukan membangun mental pengemis yang hanya menunggu bansos yang selalu digunakan rezim untuk beternak orang miskin guna memenangkan pilpres. Cukup sudah. Mari membangun manusia Indonesia dengan kompetensi tinggi dan pertumbuhan ekonomi berkualitas. (*)