Jakarta – Wakil Presiden RI ke-13 sekaligus Ketua Dewan Pengawas Manulife Syariah Indonesia, Ma’ruf Amin, menyayangkan masih rendahnya angka literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan adanya kesenjangan antara potensi dan realisasi. Data terakhir mencatat bahwa tingkat literasi keuangan syariah baru mencapai 43 persen, sementara inklusinya bahkan lebih rendah, hanya 13 persen.
“Ini sebenarnya angka yang sangat ironis. Karena kita negara muslim terbesar di dunia, seharusnya kita menjadi pelopor dan motor utama dalam pengembangan keuangan syariah global,” kata Ma’ruf dalam acara Media Briefing Manulife Syariah di Jakarta, Selasa (27/5).
Baca juga: Ma’ruf Amin Soroti Tantangan Regulasi dalam Akselerasi Industri Asuransi Syariah
Tagih Janji Presiden Prabowo
Ma’ruf menegaskan bahwa dari sisi pemerintah, sebenarnya regulasi dan arah kebijakan sudah dibentuk. Ia menyebutkan bahwa penguatan ekonomi dan keuangan syariah telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), hingga program Nawacita.
Bahkan, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan surat edaran untuk mendorong daerah-daerah memasukkan ekonomi syariah dalam rencana pembangunan daerah.
Namun, ia menilai implementasi di lapangan masih minim.
“Pemerintah sudah punya desain besar, bahkan sudah ada program seperti Kawasan Industri Halal (KIH), Kawasan Aman dan Halal (KAH), tapi eksekusinya masih lambat,” kritiknya.
Lebih lanjut, Ma’ruf juga menyentil stagnasi kelembagaan pasca transformasi Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah (KNEKS) menjadi badan yang lebih kuat.
“Saya sudah siapkan badan transformasi dari KNKS ini. Bahkan konsepnya sudah selesai. Tapi sampai sekarang belum keluar Keputusan Presiden-nya. Pemerintah baru belum bergerak,” ungkapnya.
Dari sisi industri, Ma’ruf menyarankan agar pelaku usaha tidak hanya menunggu arah pemerintah, tapi juga lebih proaktif menciptakan produk-produk syariah yang inovatif dan market-friendly.
“Produk syariah itu bukan seperti ibadah yang ilahiyah, atau turun dari Tuhan. Tapi muamalah, ini harus lahir dari gagasan manusia. Di sinilah peran pelaku industri,” tegasnya.
Senada dengan Ma’ruf, Presiden Direktur Manulife Syariah Indonesia, Fauzi Arfan, menilai tantangan utama industri keuangan syariah bukan hanya pada aspek regulasi, tapi juga pada pendekatan produk dan edukasi yang belum tepat sasaran.
“Banyak masyarakat yang sebenarnya sudah melek asuransi, tapi saat ditawari produk syariah malah bingung. Terlalu banyak istilah teknis, sulit dipahami. Akhirnya mereka mundur,” kata Fauzi.
Fauzi menambahkan, salah satu strategi Manulife adalah merancang produk syariah yang fleksibel dan mudah dipahami masyarakat.
“Kami akan meluncurkan produk MPS Flexi yang lebih sederhana dari sisi terminologi, pembayaran, hingga masa pertanggungan. Kalau industri menyederhanakan komunikasi dan produknya, angka inklusi pasti naik,” ujarnya.
Menurut Fauzi, salah satu kesalahan umum adalah membatasi produk syariah hanya untuk segmen muslim.
“Padahal seharusnya inklusif. Ini bukan soal agama, tapi soal nilai keadilan dan transparansi,” pungkasnya. (*) Alfi Salima Puteri