Jakarta – Soedradjad Djiwandono, Guru Besar Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan bahwa Bank Indonesia (BI) harus memiliki kedudukan yang independen.
“Silahkan merubah tugas BI dengan menambah tugas pembangunan. Tetapi adalah keliru untuk mengembiri independensi BI sebagai otoritas moneter atau malah menghapus BI sebagai otorita moneter yang diambil oleh pemerintah melalui Dewan Moneter,” ujar peraih gelar PhD dari Boston University dengan disertasi A Monetary Analysis of An Open Economy ini kepada Infobank di Jakarta beberapa waktu lalu.
Atas pengalamannya sebagai Gubernur BI (1993-1998) di mana waktu itu masih ada Dewan Moneter, Soedradjad mengungkapkan, bahwa kedudukan BI yang tidak independen dalam menentuan sasaran ataupun instrumen yang dalam pengelolaan moneter jelas mengurangi efektivitas BI dalam menjalankan tugasnya selama krisis. Ia mencontohkan ketika pemerintah menangani krisis 1997.
“Sebelum krisis saya kesulitan untuk meyakinkan Dewan Moneter agar menyetujui usulan BI untuk meningkatkan cadangan wajib bank (sekarang giro wajib minimum) dari 2% menjadi 3% dan kemudian menjadi 5%, sebagai upaya meningkatkan kehati-hatian bank dalam memberikan kredit pada nasabah. Tingkat cadangan wajib perbankan di negara-negara tetangga jauh lebih tinggi,” kisahnya kakak ipar dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
Dengan posisi BI yang tidak independen, maka waktu itu BI tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan apresiasi atau depresiasi nilai rupiah pada waktu sistem nilai tukar yang dianut masih bersifat mengambang terkendali dengan suatu rentang kurs jual beli valas oleh BI.
“Pada waktu krisis BI tidak dapat menolak keputusan Presiden dan Dewan Moneter untuk melakukan tindakan yang merupakan suatu “gebrakan” yaitu memindahkan deposito perusahaan-perusahaan BUMN dan berbagai Yayasan menjadi SBI pada pertengahan Agustus 1997 dan sebulan kemudian mencairkannya kembali dengan cara serupa.
Saya sendiri menjabat Gubernur BI terus menerus menekankan perlunya BI tidak membuat langkah yang bersifat menggebrak, karena implikasinya pada perbankan yang menimbulkan distorsi,” ujar pria kelahiran Yogyakarta 17 Agustus 1938 ini.
Menurut Soedradjad, intervensi pemerintah di dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan bank ternyata juga telah menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan BI yang nampak pada waktu penanggulangan krisis yang lalu. Contohnya waktu penutupan bank sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan secara keseluruhan.
Mengenai masalah penutupan 16 bank, jelas bahwa tidak independennya BI sebagai bank sentral yang juga merupakan pengawas bank merupakan salah satu penyebab tidak efektifnya tindakan tersebut mencapai sasaran yang semula diinginkan. Reaksi pasar akhirnya negatif.
“Penutupan bank yang tidak solven merupakan suatu keharusan dalam restrukturisasi perbankan, akan tetap yang menentukan hasilnya adalah mengenai bagaimana dan kapan dilaksanakan,” ujar mantan Gubernur BI yang diberhentikan oleh mantan Presiden Soeharto beberapa bulan sebelum lengser.
Sampai sekarang tidak jelas mengapa Soeharto “memecat”nya. Berbagai media pada 1998 menulis itu ada kaitannya dengan ketidaksetujuan Sang Gubernur pada usulan currency board yang diusulkan oleh ekonom dari Universitas Johns Hopkins bernama Steve Hanke.
Pada Februari 1998, Presiden Soeharto mengundang Hanke jadi penasihat ekonomi. Dia mengusulkan penerapan currency board yang menghubungkan rupiah dan dolar Amerika Serikat pada nilai tukar yang tetap. Ada juga dugaan yang berkaitan dengan penutupan 16 bank pada 1997, di mana tiga di antaranya punya kaitan dengan keluarga Cendana.
Apa pendapat Soedradjad Djiwandono terhadap langkah-langkah pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan untuk menangani krisis akibat pandemic COVID-19 dan mengapa BI harus independen? Baca wawancara Infobank dengan Soedradjad Djiwandono secara lengkap di Majalah Infobank Nomor 510 Oktober 2020. (*) Karnoto Mohamad
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bersedia mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden… Read More
Jakarta - Saat ini, secara rata-rata masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji di Indonesia bisa… Read More
Labuan Bajo - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa, akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) terbaru… Read More
Jakarta - PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL), emiten penyedia kain, seragam, dan fashion berhasil… Read More
Labuan Bajo - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa, perdagangan saham pada pekan ini… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan data perdagangan saham pada pekan ini 28… Read More