Oleh: Sigit Pramono
KRISIS akibat pandemi covid 19 ini semakin hari semakin banyak memunculkan persoalan- persoalan yang dihadapi sektor riil. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa krisis sekarang ini dampaknya bisa jauh lebih luas, lebih panjang dari pada krisis 97/98. Apa tanda-tandanya?
Pada krisis 97/98 banyak ekonom yang sering secara retorik mengatakan “Sektor UMKM adalah dewa penyelamat perekonomian kita pada saat krisis 97/98”. Apakah pernyataan itu benar? Tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat kilas balik berikut ini.
Pada saat krisis 97/98 saya kebetulan memimpin Unit Khusus Penyelamatan Kredit di sebuah bank milik negara yang dimerger dengan empat bank milik negara yang lain. Tugas utamanya adalah untuk melakukan restrukturisasi kredit debitur besar dan debitur UMKM yang terdampak krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Begitu bank-bank itu digabung, yang terjadi adalah gabungan tumpukan kredit bermasalah (Non Performing Loan) yang “segunung” besarnya.
Karena begitu besar jumlah debitur maupun nilai kreditnya, maka penanganan kredit bermasalah dikelompokkan menjadi dua. Kelompok kredit korporasi besar dari debitur (obligor) yang jumlahnya lebih dari 600, ditangani secara sentralisasi di Kantor Pusat, di bawah 5 divisi “Loan Workout”. Kelompok kredit UMKM karena jumlah debiturnya ratusan ribu dan lokasi usahanya tersebar di seluruh Indonesia, restrukturisasi kreditnya dilakukan secara desentralisasi oleh Unit Penyelamatan Kredit Wilayah (Regional Credit Recovery) yang berada di 10 wilayah di seluruh Indonesia. Itu baru satu bank. Bank- bank lainnya pada dasarnya juga harus menangani kredit UMKM yang bermasalah.
Dari uraian di atas sekurang-kurangnya didapatkan gambaran bahwa pelaku usaha UMKM pun ternyata banyak sekali yang terdampak krisis 97/98. Jadi sekali lagi dewa penyelamat perekonomian pada krisis 97/98 ternyata bukan UMKM yang punya kredit ke bank, karena mereka juga bermasalah. Dewa penyelamat perekonomian kita pada saat krisis 97/98 ternyata adalah UMKM yang tidak punya utang ke bank. Ini menjadi ironi tersendiri, karena selama ini para ahli ekonomi pembangunan kita selalu menyimpulkan bahwa pengusaha UMKM di Indonesia tidak bisa maju karena tidak ada akses kredit ke bank. Pengalaman menunjukkan bahwa jika ingin membantu pelaku usaha UMKM, maka mereka harus didukung permodalan yang tidak ada beban bunganya. Jelas sekali kredit dari bank-bank umum/ komersial bukan solusi yang tepat.
Bagaimana dengan nasib pelaku usaha UMKM pada saat krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19 sekarang? Sekarang ini semua pengusaha UMKM baik yang berhutang ke bank maupun yang tidak, semua terkena dampak krisis. Semua usaha macet. Begitu pemerintah menerapkan kebijakan untuk pemutusan rantai penularan virus dengan cara meminta masyarakat untuk tinggal di rumah, bisnis langsung berhenti total. Tidak ada pembeli di pasar, pertokoan modern, di mal, tidak ada tamu yang menginap di hotel, tidak ada orang yang melakukan perjalanan darat, udara, laut. Toko-toko tutup, pesawat udara tidak terbang, hotel tidak menerima tamu, pabrik tidak beroperasi. Kegiatan ekonomi setengah berhenti.
Dengan fakta seperti itu sangat muskil ada pengusaha yang tidak terdampak. Kita ambil saja sebagai contoh di bisnis perhotelan. Pada saat krisis 97/98 pengusaha hotel yang punya utang bank terdampak oleh krisis. Apalagi mereka yang punya kredit dalam mata uang US$, langsung pingsan karena mendadak utang mereka membengkak menjadi lima kali lipat jika dikonversi dalam nilai rupiah. Tetapi beberapa hotel yang pemiliknya tidak punya utang ke bank, mereka masih bisa bertahan hidup tanpa masalah karena pada dasarnya tamu masih ada, karena perekonomian masih bergerak.
Krisis kali ini sangat berbeda. Hotel berbintang, hotel melati, penginapan lampu merah, penginapan tanpa lampu, ‘home stay’ , losmen semua tutup karena tidak ada tamu yang datang. Jangankan tamu asing, tamu domestik pun tidak ada yang muncul. Jadi pada krisis kali ini tidak ada lagi harapan pelaku usaha UMKM bisa menjadi dewa penyelamat krisis. Pengusaha menengah dan besar juga sama saja.
Satu-satu dewa penyelamat pada krisis kali ini tampaknya tinggal Pemerintah. Seperti diketahui Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan Penyelamatan Perekonomian bahkan Perppu No. 1 tahun 2020 sudah disahkan DPR menjadi Undang-undang. BI, da OJK juga sudah melakukan beberapa langkah dan mengeluarkan kebijakan mendukung program penyelamatan perekonomian oleh Pemerintah. Tetapi kali ini ihwal itu tidak akan dibahas di sini.
Program Percepatan Restrukturisasi Kredit Perbankan
Berdasarkan data OJK, jumlah kredit perbankan nasional per akhir Februari 2020 adalah Rp5.538 triliun dengan NPL 2,79%. Sementara itu kredit UMKM dengan maksimal kredit Rp500 juta tercatat sekitar Rp595 triliun. Total kredit UMKM tercatat sekitar Rp1,096 triliun (akhir Januari 2020). Kita mencoba mengusulkan beberapa langkah yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal ini didasarkan pada kekhawatiran krisis ini akan diperburuk dengan ledakan kredit bermasalah (NPL) yang tidak terkelola dengan baik, jika tidak dilakukan pencegahan dan tindakan cepat mengatasinya.
Oleh karena itu perlu adanya kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang memungkinkan bank melakukan restrukturisasi secara masif dan cepat. Berikut ini beberapa langkah yang direkomendasikan dilakukan untuk mempercepat restrukturisasi kredit perbankan:
- Bagi debitur Usaha Mikro dan Kecil yang kreditnya maksimal Rp500 juta, diberikan restrukturisasi otomatis yang mencakup penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu 6 bulan atau 1 tahun, dan penundaan cicilan pokok selama 1 tahun. Ketentuan mengenai restrukturisasi kredit otomatis ini perlu agar meringankan beban pekerjaan bank dalam melakukan restrukturisasi kredit. Dengan demikian bank diharapkan bisa lebih fokus melakukan restrukturisasi kredit usaha menengah dan besar. Ditinjau dari aspek politik ekonomi, pemberian kelonggaran ini bisa lebih mudah dipertanggungjawabkan karena diberikan kepada pelaku usaha kecil. Beberapa negara tetangga kita juga memberikan fasilitas restrukturisasi kredit otomatis semacam ini.
- Kredit di atas Rp500 juta sampai Rp10 miliar, restrukturisasi dilakukan secara kasus per kasus dan berpedoman pada PP 23 tahun 2020 dan POJK No.11 tahun 2020.
- Kredit di atas Rp10 miliar sampai dengan Rp50 miliar, restrukturisasi dilakukan secara kasus per kasus oleh bank, sedangkan pola restrukturisasi yang boleh dilakukan diatur oleh OJK, meliputi penurunan suku bunga, penundaan cicilan pokok, pemberian kredit modal kerja darurat berbunga rendah dan tenor panjang, serta perpanjangan jangka waktu.
- Kredit di atas Rp50 miliar dilakukan secara bilateral antara debitur dan bank. Pola restrukturisasinya sesuai kesepakatan kedua-dua belah pihak, dan berdasarkan kemampuan keuangan debitur.
- Jika dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, bank mengalami permasalahan, pemerintah (KSSK) diharapkan dapat menyiapkan skema untuk membantu mereka, sekurang-kurangnya seperti skema dalam PP No. 23 tahun 2020.
Kebijakan restrukturisasi kredit di atas dapat diperluas penerapannya untuk lembaga keuangan non bank seperti perusahaan pembiayaan, leasing dan sebagainya. Diharapkan dengan kebijakan restrukturisasi kredit otomatis dan berdasarkan kelompok debitur ini, maka secara nasional restrukturisasi kredit perbankan akan lebih cepat dilakukan. Dengan demikian perbankan nasional akan terhindar dari ledakan kredit bermasalah. Hasil akhirnya adalah perbankan lebih cepat sehat dan sistem keuangan kembali stabil dalam waktu singkat.
Transparansi Publik Penerima Bantuan Pada Masa Krisis
Mari kita ambil hikmah dari krisis kali ini dengan meningkatkan tata kelola, khususnya transparansi publik bagi debitur yang menerima perlakuan khusus dan keringanan karena terdampak krisis. Kita mulai tradisi transparasi publik yang baru ini dengan membuat suatu daftar yang katakanlah dinamai: Daftar Perusahaan Yang Mendapat Bantuan Pada Krisis Covid 19.
Kita bisa meniru kabupaten Banyuwangi yang bisa menerapkan tranparansi publik bagi penerima bantuan sosial. Jika penerima bantuan sosial yang jumlahnya relatif kecil saja nama-namanya bisa diumumkan ke publik, semestinya penerima fasilitas yang lebih besar juga bisa dibuat lebih transparan dan diumumkan ke publik.
Pengalaman selama ini, mereka-mereka yang pernah dibantu Pemerintah pada saat krisis, menghilang dari catatan (karena mungkin memang tidak pernah dicatat) dan ujung-ujungnya menghilang dari ingatan publik. Padahal mereka dibantu Pemerintah dengan penerbitan surat hutang negara dan bebannya harus dipikul oleh generasi yang akan datang. Oleh karena itu mereka yang pernah dibantu Pemerintah harus diminta untuk membalas jasa jika sudah mampu.
Balas jasa minimal yang kita bisa tuntut dari mereka, misalnya saja kepatuhan membayar pajak jika usahanya sudah membaik.Salah satu caranya ialah bank diharapkan mengumumkan ke masyarakat, siapa saja debitur yang mendapat fasilitas keringanan pada saat restrukturisasi kredit.
Bentuk transparansi publik lainnya misalnya dengan mengungkapkan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan, bahwa perusahaan telah menerima bantuan pemerintah dalam bentuk keringanan pada saat restrukturisasi kredit. Pemerintah (Dirjen Pajak) juga juga menerima dan mencatat data debitur restrukturisasi kredit yang sama.
Pada saat krisis seperti sekarang ini, yang pertama kali hilang adalah rasa saling percaya atau “trust”. Oleh karena itu mari kita bangun kembali rasa saling percaya itu. Saling percaya antara pemerintah dengan rakyat, pemerintah dengan wakil rakyat, pemerintah dengan pelaku usaha, konsumen dengan produsen dan seterusnya, harus kita pulihkan agar kita bisa bersama-sama mengatasi krisis ini. Sebaiknya kita harus berani saling terbuka, agar semua pihak yakin bahwa memang tidak ada dusta di antara kita.
*) Penulis adalah Chairman IICD (Indonesian Institute for Corporate Directorship) dan Wakil Ketua Umum Kadin