Poin Penting
- Ekonomi 2026 dinilai mulai stabil, ditopang belanja pemerintah dan suku bunga rendah.
- Pasar saham 2026 lebih menarik, didukung pemulihan laba dan valuasi blue chip.
- Obligasi tetap positif, meski penurunan suku bunga lebih terbatas dan ada risiko global.
Jakarta – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyoroti, pemulihan ekonomi pada tahun 2026 mulai menunjukkan sinyal stabilisasi. Kondisi ini didukung oleh potensi percepatan realisasi belanja pemerintah serta stimulus fiskal, di tengah iklim suku bunga yang masih terjaga rendah.
Meski demikian, Head of Investment MAMI, Freddy Tedja, menyatakan bahwa masih terdapat sejumlah tantangan dan risiko yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Menurut Freddy, terdapat tiga faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni akselerasi realisasi belanja negara, keleluasaan ruang fiskal, serta pemulihan keyakinan investor asing.
“Peran belanja negara di 2026 cukup krusial bagi pemulihan ekonomi, sehingga realisasi yang lambat dapat menunda siklus pemulihan ekonomi,” kata Freddy dalam risetnya dikutip, Jumat, 19 Desember 2025.
Baca juga: OJK Ungkap Akuisisi MAMI dan Schroders Masih Diproses
Dari sisi pasar saham, MAMI menilai bahwa secara fundamental dan dari pendekatan risk and reward, daya tarik pasar saham pada 2026 akan lebih tinggi dibandingkan dengan 2025.
Salah satu pendorongnya adalah siklus pemulihan ekonomi yang diperkirakan mampu meningkatkan pertumbuhan laba emiten.
MAMI memproyeksikan pertumbuhan laba Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2025 berada di kisaran 8 persen secara year-on-year (yoy).
Selain itu, saham-saham berkapitalisasi besar (blue chip) dinilai telah menawarkan valuasi yang menarik, bahkan berada di level yang setara dengan masa pandemi.
Sebagai perekonomian yang berorientasi domestik, Indonesia juga berpotensi kembali masuk dalam radar investor asing, terutama di tengah tren diversifikasi global setelah penguatan pasar yang sebelumnya terkonsentrasi di sektor teknologi.
Outlook Pasar Obligasi 2026
Sementara itu, kinerja pasar obligasi pada 2026 diperkirakan tetap positif, meskipun penurunan suku bunga diproyeksikan lebih terbatas.
Hal itu berbeda dengan 2025, di mana kinerja obligasi sangat ditopang oleh penurunan suku bunga yang agresif sejak 2024.
Baca juga: Anak Usaha BUMA Internasional Grup Terbitkan Obligasi Senilai Rp1,4 Triliun
Secara historis pasar obligasi Indonesia dapat mempertahankan kinerja positif pada tahun fase akhir penurunan suku bunga. Namun demikian, investor juga perlu mengendalikan ekspektasi agar tidak berlebihan.
Volatilitas pasar obligasi diperkirakan tetap terjaga, didukung oleh rendahnya porsi kepemilikan asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Di sisi lain, permintaan dari investor domestik diproyeksikan tetap kuat, seiring dengan tren penurunan suku bunga deposito perbankan
Adapun faktor risiko yang perlu dicermati ke depan meliputi arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed), serta perkembangan defisit fiskal Indonesia pada 2026. (*)
Editor: Yulian Saputra










