Jakarta – Siklus pemangkasan suku bunga telah dimulai. Hal ini ditandai dengan langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) ke level 4,75 – 5 persen dalam rapat FOMC di bulan September. Senada, Bank Indonesia (BI) turut memangkas suku bunga 25 bps menjadi 6 persen.
Portfolio Manager, Fixed Income MAMI Laras Febriany mengatakan, siklus pemangkasan suku bunga secara historis berdampak positif bagi pasar obligasi.
Menurutnya, pada empat siklus pemangkasan suku bunga BI sebelumnya yang terjadi di 2011, 2016, 2019, dan 2020 secara rata-rata indeks BINDO mencatat kinerja positif 18 persen.
“Turunnya suku bunga cenderung berdampak langsung terhadap pasar obligasi karena hubungan yang erat antara suku bunga, imbal hasil obligasi, dan harga obligasi, karena instrumen obligasi diminati ketika suku bunga turun karena investor dapat ‘mengunci’ imbal hasil di level tinggi,” katanya, dikutip Jumat, 20 September 2024.
Baca juga : Di Tengah Pelemahan Rupiah, MAMI: Ada Peluang Valuasi Menarik di Pasar Obligasi
Ia menjelaskan, pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain. Pasalnya, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi.
Hal ini yang menjadikan daya tarik investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia. Langka bagi suatu negara berkembang memiliki profil yang cukup baik secara menyeluruh, karena biasanya ada saja masalah pada salah satu faktor tersebut.
Dengan profil yang menarik tersebut kata dia, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing. Hal ini membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik.
“Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi Rupiah dan bisa menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut,” jelas Laras.
Adapun mengenai stabilitas nilai tukar rupiah, menurutnya secara historis periode pemangkasan suku bunga The Fed adalah kondisi yang negatif bagi USD.
Sejak 1990, terdapat delapan siklus pemangkasan suku bunga The Fed, dan secara rata-rata nilai tukar USD melemah 1,1 persen dalam periode tersebut. Kondisi pelemahan USD ini harusnya dapat menjadi faktor yang suportif bagi stabilitas rupiah.
Namun terdapat kondisi menarik, di mana pemangkasan suku bunga The Fed yang dipicu oleh kondisi resesi AS justru mendorong penguatan USD, seperti di 2001, 2007, dan 2020, karena kondisi resesi meningkatkan permintaan USD sebagai aset safe haven.
“Jadi potensi terjadinya resesi AS dapat menjadi tantangan bagi stabilitas nilai tukar Rupiah ke depannya, di tengah naiknya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed,” bebernya.
Selain itu, faktor lain yang dapat memengaruhi rupiah ke depannya adalah dinamika kondisi domestik dari inflasi, kinerja neraca perdagangan, dan kebijakan ekonomi pemerintah baru.
Baca juga: Cek Sektor Saham Potensial Cuan Usai BI dan The Fed Pangkas Suku Bunga
Pasar Obligasi Masih Cerah
Di tengah banyaknya pilihan investasi di pasar modal saat ini, Laras melihat pasar obligasi masih memiliki peluang yang menarik. Obligasi menawarkan potensi capital gain dan elemen stabilitas bagi portofolio investor.
Di mana, kelas aset obligasi secara historis mencatat kinerja baik dalam periode pemangkasan suku bunga, sehingga dapat menjadi opsi bagi investor untuk mendapatkan potensi capital gain memasuki periode pemangkasan suku bunga global.
Di sisi lain, pasar tidak bergerak dalam garis lurus, selalu saja ada dinamikanya, oleh karena itu karakter obligasi yang defensif memberikan elemen stabilitas untuk menjaga keseimbangan portofolio investor.
“Reksa dana obligasi dapat menjadi opsi bagi investor untuk menangkap potensi di pasar obligasi. Dengan reksa dana obligasi investor dapat memiliki eksposur obligasi yang terdiversifikasi di berbagai tenor dan jenis obligasi, serta pengelolaan secara aktif yang dilakukan manajer investasi untuk menyesuaikan strategi portofolio dengan kondisi terkini,” pungkasnya. (*)
Editor : Galih Pratama