Jakarta – Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD menyoroti permasalahan sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang berlimpah tetapi tak kunjung mencapai kedaulatan pangan, terutama masalah subsidi pupuk yang semakin naik.
“Sumber daya alam kita sangat kaya tapi pangan belum berdaulat. Petani makin sedikit, lahan pertanian makin sedikit tetapi subsidi pupuk makin naik tiap tahun. Pasti ada yang salah,” kata Mahfud dalam debat keempat Pilpres 2024, Minggu, 21 Januari 2024.
Padahal, kata Mahfud, manusia di masa lalu sudah terbiasa melakukan berbagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada alam agar lestari.
Baca juga: Cak Imin Kritik Food Estate: Abaikan Petani dan Merusak Lingkungan
Misalnya saja konsep Tri Hita Karana yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan Bali. Begitu pula dengan konsep Tri Tangku milik masyarakat Sunda.
Ia kemudian menyebut bahwa sumber daya kelautan Indonesia juga begitu berlimbah, namun udara yang dihirup oleh masyarakat sudah meracuni paru-paru.
“Investor masuk, industrialisasi terjadi dan lingkungan rusak. Rakyat menderita kemudian SDA menjadi sumber sengketa antara rakyat dengan rakyat, antara pemerintah dengan pemerintah,” tambahnya.
Oleh untuk mengatasi hal tersebut, dirinya membeberkan dua kunci utama yakni komitmen dan keberanian. Hal ini sudah dilakukan semasa dirinya menjadi Ketua MK dengan mengeluarkan vonis pada 16 Juni 2011.
“Pada 16 Juni 2011, sebagai Ketua MK, saya sudah mengatakan apa-apa untuk ini. Saya sudah membuat vonis bahwa sumber alam itu untuk memihak rakyat yang memiliki empat tolak ukur ukurannya,” jelasnya.
Baca juga: Debat Keempat Pilpres, Gibran Tegaskan Akan Lanjutkan dan Perluas Hilirisasi Jokowi
Keempat tolok ukur, kata dia, meliputi pemanfaatan, pemerataan, partisipasi masyarakat dan penghormatan terhadap hak-hak yang diwariskan kepada lelulur Indonesia.
“Kami akan gunakan 4 tolok ukur tersebut, tetapi kami tidak melihat apa-apa yang diperlukan untuk menjaga keletarian alam kita. Maka dari itu, kami punya program Petani Bangga Bertani, di laut berjaya nelayan sejahtera. Jangan seperti food estate yang gagal dan merusak lingkungan, yang benar saja rugi dong kita,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama