Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
SUKU bunga kredit bukannya tidak turun, tapi lambat turun. Penurunan suku bunga kredit tidak segaris lurus dengan penurunan suku acuan Bank Indonesia (BI). Suku bunga acuan BI, BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), sudah berada pada level terendah sepanjang sejarah Indonesia (BI), yaitu 3,5%. Namun, bank-bank dicap tidak responsif terhadap penurunan suku bunga acuan BI (BI7DRR).
Sejak Januari 2019, suku bunga acuan sudah turun 225 basis point (bps), tapi hanya direspons bank-bank dengan penurunan suku bunga dasar kredit (SDBK) sebesar 116 bps (kisaran 9,7%). Pendek kata, suku bunga kredit dirasakan regulator masih relatif tinggi, dan tentunya ini bukan semata-mata salah para bankirnya.
Itulah yang membuat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mengkaji lebih dalam. Penurunan suku bunga acuan BI direspons berbeda-beda setiap bank. Menurut Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia, KSSK sedang membahas soal suku bunga kredit ini. BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan meneliti – apa yang disebut proses penetapan lending rate di masing-masing bank.
Penurunan suku bunga kredit ini menjadi penting, karena otoritas moneter menilai suku bunga rendah dapat mendorong permintaan kredit. Dunia usaha pun tidak terbebani dengan suku bunga tinggi. Dan, secara langsung akan mendorong permintaan kredit, yang pada akhirnya menggerakkan sektor rill. Lebih penting, penurunan suku bunga acuan dan lending rate bisa ditransmisikan ke sektor riil.
Itu teori di zaman normal, kata seorang bankir senior yang sudah menepi. Zaman sekarang tentu tidak seperti matematika, kalau suku bunga turun maka akan direspons secara refleks oleh bank-bank. Dan, faktanya tidak semua bank serentak menurunkan suku bunga, sebab tergantung modal, likuiditas, cost of fund, dan banyak faktor lainnya, seperti biaya operasional.
Suku Bunga Kredit Bukan Faktor Utama Bank “Kencing” Kredit
Ada dua hal yang berbeda tentang suku bunga ini. Satu, tentang penurunan suku bunga. Dua, permintaan akan kredit oleh sektor usaha. Semua paham, suku bunga bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mendorong kredit. Tujuh tahun lalu, suku bunga masih pada level double digit, tapi kredit bisa tumbuh dengan bilangan puluhan persen.
Kuldesak. Jalan buntu dihadapi oleh bank-bank dalam mengucurkan kredit. Suku bunga diakui memang rendah. Namun, permintaan kredit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor daya beli dan konsumsi masyarakat. Suku bunga kredit bukan satu-satunya faktor bank-bank bisa “kencing kredit”.
Menurut catatan Infobank Institute, ada banyak faktor, selain faktor kesehatan masing-masing bank – yang menyangkut permodalan, likuiditas, non performing loan (NPL), dan kapasitas bank itu sendiri. Utamanya, soal kredit bermasalah – termasuk di dalamnya loan at risk (LAR).
Ada beberapa hal yang memengaruhi sehingga kredit bank bisa mengalir lancar. Satu, konsumsi rumah tangga. Dua, daya beli masyarakat yang sering kali disebut M2. Tiga, “banderol” suku bunga kredit. Empat, penjualan eceran, seperti department store dan toko kelontong, termasuk retail modern dan tradisional.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi 2,19%. Lebih terperinci – menurut lapangan usaha – industri pengolahan kontraksi 3,14%, perdagangan minus 3,64%, konstruksi minus 5,67%, transportasi minus 13,42%, akomodasi dan makanan minus 8,88%. Hanya pertanian yang tumbuh 2,59%.
Sementara menurut pengeluaran, konsumsi rumah tangga terkontraksi 3,61% dan PMTB minus 6,15%. Yang tumbuh adalah konsumsi pemerintah 1,76%. Jadi, tanpa dana stimulus APBN, pertumbuhan ekonomi akan lebih dalam kontraksinya. Dari sisi ekspor barang dan jasa terkontraksi 7,21%, sementara untuk impor barang dan jasa minus 13,52%.
Jelas sudah, itulah faktor utama yang memengaruhi permintaan kredit. Dan, semua itu dikalkulasi oleh bank-bank sebagai risiko besar yang akan mengancam buku bank jika sembarangan “pipis” kredit. Persepsi bankir, faktor risiko masih cukup besar. Bukan semata-mata faktor suku bunga.
Tahun lalu kredit perbankan minus 2,45%, atau terendah dalam 20 tahun terakhir. Akibat pandemi COVID-19 ini, sektor perbankan menderita disfungsi intermediasi. Pertumbuhan kredit masih tetap tinggi, berkisar 11%. Bank-bank dalam kondisi menderita “beri-beri basah” likuiditas – hal yang berbeda dibandingkan dengan krisis 1998/1999 dan 2008/2009.
Mengapa Bank Masih “Mematok” Suku Bunga Kredit Tinggi
Saat ini, seperti ditegaskan Sri Mulyani, BI, OJK, dan LPS sedang mengkaji proses pembentukan lending rate atau suku bunga kredit. Terkait dengan itu, sebelumnya, Infobank Institute sudah melakukan penelitian dalam Infobank Institute-Eko B. Supriyanto (2014) tentang faktor penting yang memengaruhi net interest margin (NIM), bagaimana pembentukan NIM.
Penelitian dilakukan secara series selama 13 tahun terhadap 100 bank. Berdasarkan penelitian, terbukti suku bunga acuan BI tidak memengaruhi secara langsung pembentukan NIM. Bahkan, pergerakan nilai tukar pun tidak berpengaruh secara langsung.
Hanya ada tiga hal utama yang memengaruhi NIM, yaitu cost of fund, biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BO/PO), dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Simak saja, mau berapa pun suku bunga acuan BI, mau 12%, 9%, bahkan 6%, posisi NIM perbankan – pada saat penelitian, tetap di kisaran 5%-6%.
Pada umumnya pembentukan lending rate itu dipengaruhi oleh cost of fund, biaya operasional – termasuk di dalamnya biaya regulasi, seperti iuran OJK, iuran LPS, dan GWM serta risk premium. Plus margin yang diharapkan.
Nah, untuk suku bunga deposito atau suku bunga dana sudah rendah. Bahkan, LPS mematok suku bunga penjaminan hanya 4,25% untuk simpanan rupiah dan 1% untuk simpanan dolar. Suku bunga penjaminan ini juga mencatat rekor terendah.
Tidak otomatis cost of fund juga sekitar suku bunga penjaminan, karena komposisi dana bank-bank juga berbeda. Ada yang gemuk dana murah, tapi tak sedikit yang gemuk dana mahal. Besarnya cost of fund bank-bank berbeda-beda. Besarnya cost of fund-lah kunci utama dalam pembentukan suku bunga kredit, di samping keberhasilan melakukan efisiensi. Besarnya cost of fund bank BUKU 4 berkisar 2%-4%.
Dan, yang perlu diperhatikan juga ialah beban regulasi, seperti iuran LPS sebesar 0,2% dari seluruh dana pihak ketiga, meski yang dijamin LPS hanya maksimum simpanan Rp2 miliar.
Jika LPS basisnya simpanan masyarakat, lain halnya dengan OJK yang dasarnya ialah besaran aset. Beban iuran OJK sebesar 0,045% dari aset total. Apakah ini memberatkan? Yang pasti, beban banyaknya iuran dan beban GWM juga dilimpahkan ke nasabah. Tidak ada yang gratis.
Nah, untuk saat ini yang paling utama ialah persepsi risiko. Bank-bank menempatkan risk premium juga meningkat. Selain ada lonjakan LAR bank-bank yang ketakutan tidak bisa kembali lancar, risk premium juga membesar. Jika patokannya NPL, maka bisa jadi sedikit meningkat. Namun, jika patokannya asumsi NPL akan meningkat, maka risk premium akan naik.
Setelah itu, tinggal bagaimana menempatkan margin. Sepuluh tahun terakhir angka NIM perbankan menurun. Tentunya ini juga menjadi masalah penting bagi pelaku perbankan dalam memupuk modal untuk memenuhi ketentuan regulasi dan daya tahan bank ke depan.
Ada beberapa faktor eksternal yang perlu diperhatikan, selain soal inflasi yang juga berpengaruh terhadap real interest rate. Dalam hal ini BI berhasil mengendalikan inflasi. Tahun 2020 laju inflasi di kisaran 1,68%-2,68%. Namun, perlu diperhatikan, jika suku bunga dana 4,25% tentu gap-nya tidak lebar. Dan, ini juga mengganggu kelanggengan dana di bank, karena rawan pindah mencari real interest rate yang lebih lebar.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah masih tingginya kupon Surat Utang Negara (SUN). Dibandingkan dengan suku bunga deposito bank-bank BUKU 4 angkanya masih lebih tinggi. Rata-rata SUN yield-nya sebesar 5,7%-6,5%. Atau, katakanlah 6%, toh tetap masih lebih tinggi daripada suku bunga deposito. ”Negara kok risikonya lebih tinggi daripada bank swasta, kalau suku bunga sebagai cerminan risiko,” kata seorang bankir senior yang sudah pensiun.
Hal yang perlu dicermati ialah para deposan institusional atau perusahaan-perusahaan besar, BUMN atau lembaga dana pensiun. Para pemilik dana besar itu juga menekan bank dalam memberikan suku bunga yang juga premium. Pemilik dana besar itu, termasuk BUMN, bisa “menekan” bank untuk meminta suku bunga deposito yang lebih ketimbang para deposan kelas “Kopi Klotok Menoreh” yang receh.
Ironis. Pemerintah meminta bank menurunkan suku bunga, tapi pemerintah menjual SUN lebih tinggi dibandingkan dengan deposito bank swasta. Juga, BUMN-BUMN yang punya duit “godem” meminta suku bunga premium rate. Belum lagi kita bicara tentang komposisi dana yang sebagian besar bertenor 1 bulan sampai 3 bulan. Dana jangka pendek dan mudah pindah.
Terlepas dari itu, perihal “banderol” suku bunga kredit yang dirasa masih tinggi tidak bisa menyalahkan bankir semata. “Bandelnya” suku bunga kredit juga banyak faktornya. Penurunan suku bunga adalah hal yang baik, tapi risiko kredit yang masih tinggi tentu akan membahayakan bank di masa yang akan datang.
Besarnya loan at risk yang sudah Rp1.200 triliun itulah yang masih menjadi hantu (risk premium) bagi para bankir sehingga mereka tetap hati-hati dalam menyalurkan kredit. Suku bunga kredit yang sebenarnya sudah turun tentu akan lebih baik bila diturunkan kembali. Namun, langkah itu bukan berarti akan bisa menurunkan risiko dan melancarkan saluran kredit.
Atau, apakah ada faktor X sehingga suku bunga masih dibanderol relatif tinggi? Dalam hal ini, tetap bankir tidak bisa disalahkan, karena kalau kredit menjadi macet yang disalahkan tetap bankirnya. Bukan yang nyuruh-nyuruh kasih kredit. Persepsi risiko terhadap sektor riil masih tinggi, dan itu wajar saja. (*)