Jakarta — Tingkat literasi keuangan di Tanah Air masih rendah. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk melakukan edukasi agar masyarakat semakin paham mengenai produk dan jasa keuangan.
Edukasi keuangan semakin penting digalakkan mengingat tingkat literasi masih jauh lebih rendah dibandingkan tingkat inklusi. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan pada 2019 sebesar 76,19 persen. Sedangkan indeks literasi keuangan masih berada di angka 38,03 persen.
Berkaca pada data tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertekad menggencarkan program literasi keuangan. Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, lebih tingginya tingkat inklusi keuangan dibandingkan tingkat literasi perlu dicermati bersama.
“Nilai inklusi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan literasi menandakan bahwa peningkatan akses terhadap produk keuangan belum diikuti sepenuhnya oleh pemahaman terhadap risiko-risikonya,” kata Purbaya dalam diskusi bertajuk “Kala Gairah Investasi tak Dibandingi Literasi” yang digelar Klub Jurnalis Ekonomi Jakarta (KJEJ), di Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Purbaya mengatakan, ada berbagai program yang sedang disiapkan untuk dijalankan pada tahun depan, mulai dari menggelar webinar hingga forum khusus. Menurut Purbaya, pihaknya juga terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam melakukan edukasi mengenai literasi keuangan, termasuk dengan komunitas wartawan seperti Klub Jurnalis Ekonomi Jakarta.
Purbaya menjelaskan, fokus pertama pihaknya dalam menjalankan program literasi keuangan adalah menyosialisasikan fungsi LPS. Dia meyakini, dengan banyaknya masyarakat yang paham mengenai adanya penjaminan atas simpanan di bank, dapat semakin meningkatkan minat dan keyakinan masyarakat untuk berinvestasi di produk simpanan.
Purbaya mengakui, saat ini peran dan fungsi LPS belum diketahui masyarakat luas. Padahal, peran LPS sangat penting dalam menjaga stabilitas keuangan di Tanah Air.
Purbaya menjelaskan, ada beberapa syarat simpanan yang dijamin oleh LPS. Pertama, jumlah simpanan yang dijamin oleh LPS maksimal sebesar Rp 2 miliar. “Jumlah Rp 2 miliar itu untuk per nasabah per bank. Saat ini, simpanan yang dijamin LPS mencapai 99,92 persen,” katanya.
Persyaratan lainnya mengenai ketentuan layak bayar. Simpanan yang dijamin adalah simpanan yang tercatat dalam pembukuan bank. Terkait hal ini, Purbaya mengingatkan nasabah agar setiap uang yang disimpan harus tercatat dalam pembukuan bank.
Syarat layak bayar selanjutnya adalah tingkat bunga yang diperoleh tidak melebihi bunga yang ditentukan LPS. Bunga penjaminan yang ditetapkan oleh LPS saat ini sebesar 3,5 persen. Persyaratan selanjutnya adalah nasabah tidak ikut menyebabkan bank menjadi gagal, seperti memiliki kredit macet di bank.
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, Purbaya mengingatkan masyarakat untuk melakukan sejumlah hal. “Nasabah harus rutin memeriksa saldo tabungan di bank dengan cara mencetak buku tabungan secara periodik,” kata Purbaya lagi.
Menurutnya, hal tersebut bermanfaat untuk mengurangi kemungkinan ketidakcocokan catatan kita dengan bank. Hal lain yang perlu dilakukan nasabah adalah dengan mengecek tingkat bunga di website LPS dan di bank dan selanjutnya minta ke bank agar bunga yang diberikan tidak melebihi bunga penjaminan LPS. “Terakhir, lunasi kredit tepat waktu agar tidak menjadi kredit macet,” tukasnya.
Terkait program literasi, LPS juga tak menutup kemungkinan untuk membuat forum khusus bagi nasabah milenial untuk mempelajari segala hal mengenai investasi, seperti investasi di pasar modal. Purbaya menilai, peningkatan literasi pasar modal penting dilakukan karena jumlah investor pasar modal telah meningkat signifikan di masa pandemi.
Purbaya memerinci, jumlah investor pasar modal pada 2018 mencapai 1,6 juta investor. Sedangkan pada Oktober 2021 meningkat drastis menjadi sebanyak 6,75 juta investor.
Dari sisi demografi, investor pasar modal di Indonesia didominasi kelompok umur di bawah 30 tahun dengan persentase mencapai 59,50 persen dan aset sebesar Rp40,56 triliun.
Adapun dari sisi jenjang pendidikan, mayoritas berlatar belakang sekolah menengah atas (SMA). Persentasenya mencapai 56,75 persen dengan total aset sebesar Rp169,44 triliun.
“Kita bisa saja nanti membuat program khusus dengan membuat forum reguler untuk literasi terkait investasi. Kita punya instrumen technical analysis yang kami kembangkan dan itu bisa saja digunakan untuk investor pemula,” kata Purbaya.
Kiat Investasi
Secara umum, ujar Purbaya, ada empat hal yang harus diperhatikan masyarakat dalam berinvestasi. Pertama adalah dengan mengenali kebutuhan dan kemampuan. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak mengutang untuk berinvestasi.
“Apalagi sampai mengambil pinjaman di pinjol (pinjaman online). Sederhananya, kalau punya uang lebih kita investasi. Kita harus sadar dengan kemampuan keuangan kita. Lalu, jangan seluruh penghasilan kita investasikan,” tuturnya.
Kiat kedua adalah mengenali produk dan jasa keuangan. Purbaya menekankan, hal ini perlu dilakukan masyarakat jika ingin berinvestasi. Jangan sampai, kata Purbaya, masyarakat berinvestasi hanya karena mengikuti teman yang lebih dulu berinvestasi di suatu instrumen tanpa terlebih dahulu mempelajarinya
Kiat selanjutnya yaitu mengenali manfaat dan risiko. “Prinsip sederhana investasi itu, high risk high return yaitu imbal hasil yang tinggi memiliki risiko yang tinggi. Tentu kita inginnya low risk high return atau risiko rendah tapi return besar, tapi itu tidak ada,” ujarnya.
Hal terakhir adalah mengenali hak dan kewajiban sebagai investor. Hal ini bisa dilakukan dengan membaca setiap ketentuan yang ada saat ingin membuka sebuah rekening investasi.
“Langkah awal adalah dengan memulai investasi dengan jumlah kecil. Lalu, kalau ada yang tidak jelas, kita bisa tanyakan kepada perusahaan atau manajer investasi yang bersangkutan. Usahakan pilih perusahaan yang responsnya bagus terhadap kita,” tandas Purbaya. (*)