Jakarta – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memandang, penurunan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 6 persen merupakan kabar buruk bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyebut, penurunan tersebut semakin menyudutkan BPR dalam mencari pasar konsumen dalam penyaluran kredit.
“Pengumuman Pemerintah yang menurutnkan suku bunga KUR 6% menjadi berita berat untuk BPR dan membuat mereka harus semamin kreatif mencari pasar konsumen atau debitur yabg menjadi pasar khusus dilayani oleh BPR,” jelas Halim di Jakarta, Selasa 19 November 2019.
Tak hanya itu, pihaknya juga mencatatkan pengetatan likuiditas yang masih terjadi di BPR. Dengan begitu, pihaknya juga mengimbau kepada pelaku BPR agar terus berinovasi menciptakan produk yang menarik.
“BPR juga masih mengalami pengetatat likuiditas dan memang kehidupan seperti itu, risiko kredit juga ditanggung lebih tinggi dan pemerintah juga menurunkan suku bunga KUR lebih berat bagi BPR,” tambah Halim.
Dikesempatan yang sama Anggota Dewan Komisioner Didik Madiyono menjelaskan, hingga saat ini peningkatan risiko kredit atau NPL juga masih dialami oleh BPR.
“NPL untuk BPR relatif tinggi dari tahun ke tahun, naik dari rahun 2015 di level 5,37 persen hingga tahun ini berada pada level 7,36 persen,” jelas Didik.
Sebagai informasi, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 6 persen per tahun, dari semula 7 persen. Hal ini dilakukan guna mempercepat pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Selain itu, pemerintah juga menaikkan total plafon KUR dari Rp140 triliun menjadi Rp190 triliun atau sesuai dengan ketersediaan anggaran pada APBN 2020, dan akan terus meningkat secara bertahap hingga Rp325 triliun pada 2024. (*)
Editor: Rezkiana Np