Nusa Dua–Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi membawa pelajaran tersendiri bagi Boediono, Mantan Wakil Presiden yang telah mereguk berbagai asam-garam dalam menata perekonomian Indonesia.
Sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia, Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Boediono tentu sudah memiliki berbagai pengalaman berharga. Pengalamannya menghadapi krisis-krisis ekonomi selama ia menjabat dibagikan pada para peserta Seminar Gabungan yang digelar Bank Indonesia dan Federal Reserve Bank of New York (FRBNY) pada Senin 1 Agustus 2016 di Nusa Dua, Bali. Dalam seminar yang bertema “Managing Stability and Growth Under Economic And Monetary Divergence”, Boediono mengungkapkan ada lima pelajaran yang dia ambil dari krisis-krisis yang pernah menerpa Indonesia.
Pertama, bahwa tiap krisis dari dua krisis yang dia hadapi selalu datang dengan mengejutkan. Elemen kejutan tersebut ia katakan juga akan terjadi pada krisis-krisis selanjutnya.
“Pemahaman saya, sampai saat ini ilmu pengetahuan tentang krisis tidak lebih banyak berkembang dibandingkan ilmu pengetahuan tentang prediksi bencana gempa bumi,” kata Boediono.
Untuk itu strategi optimal yang bisa dilakukan oleh para bankir bank sentral adalah selalu memeriksa kesehatan ekonomi tiap negara seperti menjaga kesehatan tubuh sendiri. Dalam krisis pertama ia mengatakan, kesiapan Indonesia hampir nol dalam menghadapi krisis dan konsekuensinya Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terpukul dan membutuhkan waktu paling lama untuk pulih. Sementara di krisis kedua, Indonesia telah memiliki persiapan lebih baik dalam menghadapi krisis sehingga dampaknya minimal.
Pelajaran kedua dari pengalamannya adalah respon awal dalam penanganan krisis merupakan yang paling penting dan krusial. Dia menyebut dalam krisis pertama yang dihadapinya, Indonesia tidak memiliki informasi yang cukup dan akurat sehingga respon awal dalam penanganan krisis pun salah langkah dan menyebabkan Indonesia maupun Dana Moneter Internasional (IMF) terdampak langkah blunder penanganan krisis tersebut. Sementara di krisis kedua respon awal telah cukup dan sesuai sehingga dampaknya pun minimal. “Indonesia adalah salah satu megara yang paling kecil terdampak krisis dan salah satu yang tercepat pulih,” tambahnya.
Pelajaran ketiga, di tengah krisis para pengambil kebijakan tidak boleh berasumsi koordinasi antarinstitusi akan semulus ketika kondisi normal. Faktanya, ketika terjadi tendensi ekonomi tidak sehat lembaga justru ada yang tetap di zona nyaman mereka. Mereka meminimalkan peranannya untuk mengambil alih situasi dan mengambil keputusan kemungkinan untuk meminimalkan risiko politik karena takut menjadi sasaran kesalahan di masa mendatang.
Selanjutnya pelajaran keempat adalah memori institusional yang penting dalam mendukung keputusan yang bagus saat krisis seringkali sangat tipis atau bahkan tidak ada. Masalah tersebut makin akut ketika pengambil keputusan saat terjadi krisis tidak memiliki orang dengan pengalaman langsung yang pernah berurusan dengan krisis. “Tapi itu seharusnya tidak menjadi masalah ketika kumpulan memori institusional dan pengetahuan sudah siap diakses oleh pengambil keputusan,” tukas Boediono, yang juga mantan wakil presiden RI ini.
Pelajaran terakhir, menurutnya sangat umum dan sudah diketahui luas oleh bankir yaitu kondisi politik yang mendukung menentukan efektifitas kebijakan ekonomi. “Ekonomi yang bagus hanya bisa berdiri di atas politik yang bagus,” tandasnya. (*)
Editor: Paulus Yoga