Jakarta – Angka partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih kalah jauh daripada laki-laki. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebut, perbandingannya 55 persen untuk kaum hawa dan 85 persen untuk kaum adam.
Belum lagi, laporan SDG Global Database menyebut, perempuan memiliki kesempatan yang lebih terbatas dalam posisi kepemimpinan, yaitu hanya 32 persen perempuan yang menduduki posisi manajerial perusahaan pada 2022.
Menilik pelbagai tantangan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender di dunia kerja, PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC) menggandeng Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) dan Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) berkolaborasi mengatasi masalah tersebut.
Komisaris Independen OCBC Betti Alisjahbana mengungkapkan, hingga kini masih banyak perempuan dan laki-laki masih terjebak dalam norma dan stigma yang membatasi peran mereka, baik di rumah maupun di dunia kerja.
Baca juga : Kredit Berkelanjutan OCBC Tembus Rp37,85 Triliun di 2024, Naik 17 Persen
Memaknai kondisi tersebut, dirinya menekankan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk berprestasi dan berkontribusi secara maksimal.
“Dalam menghadapi stigma berbasis gender, saya memilih untuk tetap fokus berkarya dan membuktikan diri lewat dedikasi, prestasi, dan integritas. Kepemimpinan perempuan tidak perlu menjadi pengecualian—melainkan bagian dari budaya profesional yang kita bangun bersama,” katanya, di Jakarta, Rabu, 13 Agustus 2025.
“Di era di mana talenta dan keberagaman menjadi sumber kekuatan kompetitif, menciptakan ekosistem kerja yang inklusif adalah kunci untuk mengoptimalkan potensi setiap orang—tanpa terkekang,” tambahnya.
Ia menuturkan, perusahaan memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan prinsip tersebut terwujud. Hal ini perlu didukung dengan adanya kebijakan hingga program pengembangan untuk semua level serta fasilitas penunjang yang ramah bagi semua karyawan.
“Di OCBC, kami percaya bahwa ruang kerja yang adil gender akan membuka peluang yang sama untuk semua. Hal ini harus Diperkokohkan dengan adanya persentase yang berimbang di manajemen dalam posisi strategis,” ujarnya.
Di OCBC sendiri, kesetaraan gender dalam lingkungan kerja terbilang tinggi. Hal ini terlihat dari persentase jumlah karyawan. Dari 6.330 total karyawan, 53 persen merupakan laki-laki dan 47 persen perempuan.
Jika dirinci, sebanyak 2.043 karyawan Operations and Technology, 40 persen perempuan dan 60 persen laki-laki. Dan sebanyak 25 persen BOCs dan 38 persen BODs adalah perempuan.
Baca juga : Dukung UMKM Naik Kelas, OCBC Hadirkan Layanan QRIS Tanpa Biaya
Sementara itu, Head of Programmes UN Women Indonesia Dwi Yuliawati mengatakan, norma gender yang tidak setara, termasuk di antaranya bias yang terjadi secara sadar maupun tidak, adalah salah satu hambatan perempuan untuk meniti karir di lingkungan kerja.
Menurutnya, bentuk bias yang paling nyata adalah persepsi bahwa pekerjaan rumah tangga dan perawatan anggota keluarga adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.
“UN Women berkolaborasi dengan sektor swasta untuk mengintegrasikan Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Perempuan (WEPs), sehingga mendorong kebijakan tempat kerja ramah keluarga, sebagai satu cara untuk meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan,” bebernya.
Merespons tantangan yang ada, penting bagi perusahaan untuk menerapkan kebijakan inklusif yang dapat memberikan peluang yang setara dan menciptakan lingkungan dalam mendukung pemberdayaan perempuan.
Perusahaan yang memperjuangkan kesetaraan gender dan mempromosikan hak perempuan tidak hanya mendorong kemajuan sosial, tetapi juga dapat mengembangkan bisnis dan komunitas di tempat mereka bekerja agar beroperasi lebih inklusif, tangguh, dan sukses.
Melengkapi perspektif tersebut, Wawan Suwandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru, mengingatkan bahwa perubahan menuju kesetaraan tidak bisa dilakukan sendiri oleh perempuan.
“Dunia kerja yang lebih fleksibel dan rumah tangga yang lebih adil perannya akan membuat laki-laki dan perempuan bisa berkolaborasi lebih sehat. Laki-laki juga perlu ruang untuk menjadi ayah, suami, dan individu yang utuh tanpa stigma,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama










