Jakarta – Perkembangan proses kerja sama dagang Indonesia dengan negara-negara di Afrika mulai menuai hasil. Hal ini menyusul selesainya proses perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Mozambik, serta pertemuan Menteri Perdagangan RI dengan sejumlah menteri dari negara-negara lainnya di Afrika.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengakui, langkah pemerintah Indonesia yang diintensifkan Mendag Enggartiasto Lukita untuk membuka pasar Afrika sudah mulai terlihat hasilnya. Menurutnya langkah ini sangat perlu dilakukan agar ekspor Indonesia meningkat dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Jadi sangat perlu untuk meningkatkan ekspor, khususnya ke berbagai daerah atau negara yang selama ini belum kita optimalkan market-nya ke sana,” ujar Heri kepada wartawan di Jakarta, seperti dikutip Kamis, 22 Agustus 2019.
Heri juga menyebutkan bahwa potensi pasar Afrika sangat besar, lantaran negara tersevyt sedang berproses menjadi negara lower middle income dari sebelumnya sebagai negara lower income. Sehingga Heri menilai, Afrika sedang membutuhkan produk-produk kebutuhan dasar seperti pakaian, pangan, dan obat-obatan. “Itu (produk-red) kita bisa bikin semua. Artinya, ada kecocokan, mereka butuh apa, kita bisa produksi,” sambung Heri.
Namun ia mengingatkan, pemerintah RI mesti lebih cerdik dalam memproses perjanjian dagang dengan negara-negara tujuan ekspor nontradisional Indonesia. Salah satunya dengan melobi negara mitra dagang agar dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan sebanyak-banyaknya tarif dagang. Jika produk Indonesia terbebas dari berbagai hambatan dagang seperti tarif maupun non-tarif, keberadaan produk Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan produk negara lain yang juga diekspor ke Afrika.
“Kita berdagang di salah satu negara tujuan, tentu kita punya saingan sehingga produk kita harus lebih kompetitif dibanding saingan-saingan kita, sebut saja ada China dan Vietnam,” ucap Heri.
Dalam kerja sama dagang ini juga, dirinya menghimbau pemerintah dapat memperhatikan strategi perundingan yang benar-benar akan meningkatkan ekspor Indonesia. Mengingat dalam sebuah perjanjian dagang pasti ada timbal balik yang diminta negara mitra dagang untuk kemudahan mereka mengimpor barang ke Indonesia. Fenomena ini disebut sebagai efek resiprokal dari perjanjian dagang.
Jika pun harus memberi kemudahan negara mitra dagang untuk menjual produknya di Indonesia, Pemerintah Indonesia diminta untuk menerima atau membeli produk yang benar-benar dibutuhkan.
Senada, Pengamat perdagangan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal memandang, bahwa sebelumnya pemerintah terlihat belum serius menggarap potensi pasar Afrika. Hal itu terlihat dari nilai ekspor Indonesia yang kerap mengalami kenaikan dan penurunan tajam dalam catatan perdagangan dengan negara mitra di wilayah Afrika. Dan, langkah pemerintah kini diharap signifikan mendongkrak neraca perdagangan.
“Jadi kita lah dalam hal ini membuka jalan dan memberikan keyakinan juga kepada para pengusaha domestik. Karena hambatan di lapangan juga banyak ditemui dari kalangan pengusaha domestik sendiri yang enggan untuk masuk pasar baru terutama di Afrika,” papar Fithra.
Ia memaparkan, berdasarkan kajian pemetaan mitra dagang nontradisional yang dibuat oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI (FEUI) tiga tahun lalu, pasar Afrika termasuk negara yang terhitung sangat potensial. Temuan itu dibuktikan dari kalkulasi pertumbuhan ekonomi Afrika yang telah menunjukan peningkatan signifikan, yang bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi dunia.
“Daerah-daerah seperti Ethiopia, Somalia, Rwanda yang dulu relatif tertinggal, justru sekarang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi dan bahkan berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia bahkan Asia,” sambung Fithra.
Ia menambahkan, produk Indonesia yang berpotensi besar mengisi pasar Afrika adalah barang konsumen yang bergerak cepat atau fast moving consumer goods (FMCG) terutama produk makanan dan minuman (mamin). Contohnya saja, mie instan, sampai sampai saat ini sudah ada pabrik Indomie di Afrika.
Fithra pun menyarankan pemerintah untuk melirik dan menggarap pasar negara lain di Afrika yang menurutnya juga memiliki potensi besar untuk menampung produk-produk Indonesia. Negara dimaksud antara lain, Afrika Selatan, Pantai Gading, Angola, serta Boswana. Harapan sama dikemukakan pimpinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno. Ia mengakui, hubungan dagang bilateral RI dengan negara di kawasan Afrika sangat penting.
Langkah ini strategis dilakukan, karena cukup banyak negara yang menyasar Afrika sebagai mitra dagang lantaran pesatnya perekonomian negara tersebut. “Pendekatan dan pembuatan kerja sama dagang secara bilateral dengan negara Afrika wajib dilakukan agar kita tidak ketinggalan dengan negara lain,” katanya, di kesempatan berbeda.
Benny yang juga Wakil Ketua Bidang Perdagangan Apindo berpendapat sama dengan Heri. Selaku pengusaha, pihaknya meminta agar pemerintah mengupayakan penghapusan hambatan nontarif. Ini perlu dilakukan, mengingat selama ini negara-negara di Afrika punya hambatan nontarif yang tinggi. Sektor yang menurutnya sangat bisa berkembang untuk jadi andalan ekspor Indonesia, adalah sektor manufaktur dan agrobisnis, juga wisata.
Sebelumnya pada Maret 2017, Indonesia mulai menjajaki pasar Afrika lewat Konferensi Tingkat Tinggi Indian-Ocean Rim Association (IORA) pada Maret 2017. Hasil perjanjian kerja sama perdagangan dari IORA pun mulai terlihat, khususnya terkait perdagangan bilateral dengan Mozambik. Pasalnya, proses perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Mozambik telah menemui kesepakatan kedua belah pihak. Hasil perundingan pun siap ditandatangani menteri perdagangan kedua negara dalam waktu dekat.
“Selesainya perundingan IM-PTA ini merupakan sejarah baru bagi Indonesia karena merupakan perundingan pertama yang diselesaikan dengan kawasan Afrika,” ujar Mendag Enggartiasto Lukita di sela penyelenggaraan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) di Nusa Dua, Bali pada 20-21 Agustus 2019. (*)