Nasional

Lahan Sawah Menyempit, Nasib Petani Kian Sulit

Jakarta – Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir (2019–2024), luas baku sawah menurun hingga 79 ribu hektare.

“Konversi lahan serta konflik agraria terus meningkat akibat pembangunan infrastruktur, perumahan, hingga ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan,” katanya, di Jakarta, Selasa, 16 September 2025.

Menurutnya, kondisi ini makin memperburuk nasib petani. Berdasarkan data BPS, sebanyak 62 persen petani Indonesia berstatus gurem dengan lahan di bawah setengah hektare. 

Angka ini naik dalam satu dekade terakhir, dari 14,62 juta rumah tangga tani gurem pada 2013 menjadi 17,24 juta pada 2023.

Baca juga : Danantara Bakal Gelontorkan Rp1,5 Triliun untuk Beli Gula Petani

Benny menegaskan bahwa ketergantungan berlebihan pada beras terbukti menciptakan kerentanan pangan.

Pangan lokal, laut, dan hutan seharusnya menjadi tumpuan baru. Pemerintah perlu mendorong kedaulatan pangan berbasis potensi lokal, bukan sekadar mengejar surplus beras di atas kertas.

“Kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika tanah kembali ke tangan petani, pangan lokal diberi tempat, dan kebijakan tidak lagi terpusat pada beras,” ujar Benny

Potensi Pangan Lokal yang Terabaikan

Indonesia sendiri menyimpan kekayaan pangan alternatif. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua terdapat pangan lokal yang bisa menjadi substitusi beras. Namun, karena kebijakan pangan terpusat, beras tetap menjadi penyumbang inflasi terbesar.

“Sebanyak 23.472 desa punya potensi tinggi untuk menjadi basis produksi pangan restoratif, yaitu pangan yang memberi nilai tambah bagi masyarakat tanpa merusak alam. Beberapa jenis pangan justru membutuhkan tanaman besar sebagai kanopi, sehingga hutan tidak perlu dibuka,” ungkap Ekonom Cekios, Bhima Yudhistira Adhinegara.

Baca juga: Kenaikan Harga Beras jadi Alarm Serius Ketahanan Pangan RI

Alternatif lain, Indonesia memiliki 14,88 persen desa yang berbatasan dengan laut dan 24,11 persen desa berbatasan dengan kawasan hutan.

Sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk ikan, tanaman pangan, maupun obat-obatan.

“Jangan hanya karena resentralisasi kebijakan pangan di pusat, akhirnya salah arah dan berujung inflasi, kemiskinan, hingga ancaman ketahanan pangan,” tegas Bhima. (*)

Editor: Yulian Saputra

Muhamad Ibrahim

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

4 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

4 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

5 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

6 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

6 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

7 hours ago