Lagi, Kriminalisasi Bankir Pemberi Kredit di Bank Permata

Lagi, Kriminalisasi Bankir Pemberi Kredit di Bank Permata

Jakarta – Forum Komunikasi Alumni SMA Kanisius angkatan 1983 (CC83) dan Alumni FEUI 1983 (FEUI83) merasa prihatin dan terpanggil untuk memperjuangkan nasib
dari salah satu rekan alumninya yakni Ardi Sedaka, mantan Client Relationship
Head Bank Permata yang saat ini menjadi salah satu dari 8 (delapan) orang
terdakwa dalam perkara tindak pidana perbankan dengan dakwaan tunggal:
(kutipan – dari Surat Dakwaan) Pasal 49 Ayat 2b juncto 55 KUHP ayat pasal 64 ayat 1 KUHP.

Para alumni CC83 dan FEUI83 saat ini menggalang persatuan untuk mencari keadilan buat rekan mereka Ardi Sedaka yang sudah sejak bulan Juni 2020 berada dalam tahanan Rutan Bareskrim.

Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima infobank, pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang menggelar sidang perkara tindak pidana perbankan dimaksud. Namun dalam berkas perkara tersebut ditemukan banyak kejanggalan yang terungkap di persidangan dan dinilai cacat formil dari Surat Dakwaan, yakni diantaranya yakni saksi Pelapor AKP Karta adalah penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) dengan membuat Laporan Model A, yang artinya laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri.

Selain itu, laporan Model A tersebut ternyata hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) dengan plafon kredit senilai Rp1,6 triliun dan menyisahkan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp750 miliar, tetapi dalam laporan tidak tercantumkan siapa Terlapor, dan pasal yang dilaporkan adalah Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan, serta Pasal 3,4 dan 5 UU Pencucian Uang, serta hanya berdasarkan asumsi atau indikasi terjadinya tindak pidana.

Disisi lain, berdasarkan pernyataan pihak tim kuasa hukum Ardi Sedaka, AKP Karta selain jadi Saksi Pelapor ternyata juga menjadi Penyidik perkara pidana ini, hal yang pernah dikatakan oleh Ahli Arbijoto adalah “abuse of power” dalam persidangan perkara pidana yang berbeda beberapa tahun silam, dan bahkan dalam perkara pidana lainnya, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian, karena saksi penangkap juga
merupakan bagian dari penyidik yang mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana.

Selain dari pada itu, saksi Adief Razali dari OJK menerangkan hal-hal sebagai Bahwa indikasi yang terjadi berdasarkan hasil pemeriksaan tahunan terhadap Bank Permata atas rekening debitur MJPL ini
hanya ditemukan indikasi double financing di bank BCA, dan diperoleh kabar juga di Bank Mandiri, namun pada kedua bank
tersebut tidak menjadi permasalahan hukum.

Berbeda dengan yang terjadi di Bank Permata, para mantan karyawannya menjadi pesakitan, dan tidak ada rekomendasi dan atau audit investigatif yang dilakukan oleh OJK terhadap Bank Permata khususnya atas rekening debitur MJPL.

Untuk Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan diperlukan terlebih dahulu adanya Surat Pembinaan, Surat Teguran, dan apabila
bank tidak menetapkan langkah-langkah perbaikan maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu yang terhadap Bank Permata untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana Pasal 49 Ayat 2b tersebut.

Sementara itu bahwa pihak ketiga / umum tidak bisa membuat laporan atas dugaan pelanggaran Pasal 49 Ayat 2b, yang secara jelas jika ada pihak selain OJK membuat laporan maka menjadi tidak masuk akal.

“Karena berdasarkan apa atau tahu darimana ada pejabat Bank Permata melakukan pelanggaran Pasal 49 A2b UU
Perbankan tersebut?,” Ujar salah satu Pihak tim kuasa hukum Ardi Sedaka, Ryanto Syahputera.

Kejanggalan Terungkap di Persidangan

Dalam persidangan, pihak tim kuasa hukum Ardi Sedaka, juga menemukan kejanggalan diantaranya saksi-saksi yang lain, sebanyak 14 (empat belas) orang yang dihadirkan ternyata menyatakan tidak tahu perbuatan pidana apa yang dilakukan oleh Ardi Sedaka sehubungan dengan dakwaan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, selain hanya mengetahui adanya pemalsuan yang dilakukan oleh MJPL ketika melakukan pembobolan Bank Permata.

Selain itu, Ardi Sedaka didakwa melakukan pelanggaran kebijakan / aturan internal Bank Permata berupa “trade checking” dan juga karena “tidak adanya Surat Permohonan Kredit” yang diajukan oleh debitur, padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata yang bisa kapanpun diganti secara internal, dan BUKAN peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud.

Sementara ketentuan mengenai “trade checking” tersebut tidak diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan OJK manapun.

Sedangkan kejanggalan dalam surat dakwaan, Jaksa penuntut umum di dalam Surat Dakwaannya mencantumkan
peraturan kewajiban, penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi bank umum. (Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tahun 1995), yang ternyata telah digantikan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 tentang “Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum”.

Pihak tim kuasa hukum Ardi Sedaka juga melihat masih ada serangkaian ketidakcermatan Surat Dakwaan yakni,
R dan A (keduanya adalah ex-direksi Bank Permata) dikatakan dalam berkas penuntutan terpisah, padahal berkas perkara keduanya bahkan belum dinyatakan P-21 oleh pihak kejaksaan yang artinya belum ada pelimpahan tahap 2, masih dalam tahap penyidikan.

“Selain itu pasal yang tercantum dalam Surat Dakwaan secara lengkap adalah pasal 49 ayat 2b UU Perbankan jo pasal 55 KUHP ayat jo pasal 64 ayat 1 KUHP, terlihat ketidakcermatan dalam surat dakwaan karena Pasal 55 KUHP terdiri dari ayat 1 ke-1 dan ke-2 serta ayat 2, yang artinya harus jelas para terdakwa dibidik dengan pasal 55 KUHP ayat yang mana?,” Jelas
Tim Kuasa Hukum Ardi Sedaka, Didit Wijayanto Wijaya.

Fakta dan Dampak yang Terjadi

Melihat hal itu, tim kuasa hukum Ardi Sedaka pun beranggapan alangkah naif dan sangat ironis, Bank Permata kebobolan dan pengurus MJPL sudah dipidana namun ternyata ex-karyawan Bank Permata dianggap dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.

Padahal penerapan Pasal 49 Ayat 2b, adalah apabila bank melakukan pelanggaran ketentuan dari otoritas maka harus terlebih dahulu memperoleh teguran dan pembinaan terlebih dahulu, setidaknya 3 (tiga) kali peringatan, dan apabila bank tidak mematuhinya, barulah OJK melakukan investigasi untuk menerapkan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, karena UU Perbankan diterapkan berdasarkan asas ultimum remedium, yaitu penerapan administratif penal sebelum penerapan pemidanaan, dan wajib meminta keterangan dari OJK sebagai pihak yang paling memahami regulasi (Das sollen) dan paling memahami penerapan (Das sein) suatu regulasi dalam delik tindak pidana perbankan.

Bahwa selain itu terdapat dokumen CDO (Cease and Desist Order) yang diterbitkan oleh OJK selaku pengawas perbankan, yang secara tegas menjelaskan hal ini dan terdapat pula SKB (Surat Kesepakatan Bersama) antara OJK dan Polri yang seharusnya wajib dipatuhi oleh para pihak,
bahwa penyidikan atas pelanggaran tipibank yang terjadi di suatu bank adalah kewenangan dari OJK kecuali tertangkap tangan atau berdasarkan pengembangan dari kasus lainnya.

Selin itu juga akan terjadi ketakutan dan paranoia dari para bankir untuk memberikan persetujuan kredit sebagai akibat akan direkayasa kriminalisasi oleh debitur nakal yang telah membobol bank atau oleh oknum penegak hukum, dan akan terjadi moral hazard karena tidak adanya itikad baik terhadap atau adanya pemberian informasi yang menyesatkan kepada lembaga perbankan.

“Dakwaan terhadap Ardi Sedaka (dan kawan-kawan) jelas sangat dipaksakan dan diterapkan dengan atau secara keliru berdasarkan pemahaman umum, bukan berdasarkan pemahaman dari pihak yang
paling memahami peraturan perbankan dan penerapannya yakni OJK, dan akan menjadi preseden yang buruk bagi dunia peradilan dan sistem operasional perbankan karena menimbulkan ketakutan dalam penyaluran kredit,” ujar Ryanto. (*)

Related Posts

News Update

Top News