Jakarta – Sepanjang Januari – September 2024, kinerja keuangan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk atau Tugu Insurance tetap tumbuh solid, meski perseroan tidak lagi mencatatkan pendapatan sekali waktu (one off gain) di tahun ini.
Merujuk laporan konsolidasian (non-audit) per 30 September 2024, anak usaha PT Pertamina (Persero) dengan kode saham TUGU ini berhasil membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp552 miliar. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, memang terlihat turun 51 persen.
Analis Phintraco Sekuritas Nur Wachidah mengatakan bahwa penurunan laba bukan menunjukkan kondisi kinerja perseroan yang memburuk. Faktor penyebab penurunan tersebut karena TUGU tidak lagi membukukan pendapatan sekali waktu dari kemenangan kasus atas Citibank (N.A).
Lebih jauh Nur menjelaskan bahwa pendapatan sekali waktu ini bukan merupakan core operation TUGU, sehingga dalam memahami konteks laporan keuangan TUGU yang aktual perlu dilakukan penyesuaian dengan mengeluarkan pendapatan sekali waktu tersebut untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkret akan kinerja perseroan.
“Apabila laba bersih tahun lalu dikurangi pendapatan lain-lain non-core yang nilainya mencapai Rp 868 miliar, maka pertumbuhan laba bersih yang murni dari core operating TUGU sebenarnya melesat 115 persen sepanjang Januari-September 2024. Selain itu, kinerja 9 bulan juga menunjukkan bahwa sumber dari laba memang dari core operation yang semakin membaik” kata Nurwachidah, research analyst Phintraco Sekuritas.
Baca juga: Tugu Insurance Terus Tunjukkan Kinerja Impresif hingga Triwulan III 2024, Ini Buktinya
Pendapatan Premi Bruto
Tugu Insurance berhasil membukukan premi bruto senilai Rp6,9 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 26 persen year-on-year (yoy). Penyumbang terbesar dari pertumbuhan premi ini masih berasal dari segmen asuransi kebakaran.
Per akhir September 2024, premi bruto asuransi kebakaran mencapai Rp2,9 triliun, naik 53 persen yoy dari periode yang sama tahun lalu. Kontribusi segmen ini ke total premi bruto perseroan mencapai 43 persen dan disusul oleh segmen asuransi aneka (miscellaneous) yang mencapai Rp 1,4 triliun yang juga naik 98 persen yoy menyumbang 20 persen dari total premi bruto.
Adapun total pendapatan underwriting TUGU mencapai Rp2,3 triliun atau naik 17 persen yoy. Sementara total pendapatan TUGU yang berasal dari pendapatan underwriting, pendapatan investasi dan pendapatan usaha lainnya mencapai Rp3,2 triliun dan tumbuh 16 persen yoy.
Sementara, beban klaim neto perseroan hanya naik 9 persen yoy menjadi Rp1,6 triliun akhir September 2024. Sedangkan beban operasional justru turun 5 persen yoy menjadi Rp544 miliar pada waktu yang sama.
Total beban usaha perseroan hanya naik 6 persen yoy menjadi Rp2,4 triliun, meskipun ada peningkatan 17 persen yoy dari sisi beban operasional lainnya selaras dengan peningkatan pendapatan usaha lainnya. Di luar pendapatan/(beban) operasional lainnya, laba usaha TUGU tumbuh 57 persen yoy menjadi Rp783 miliar.
Baca juga: TUGU Jadi Asuransi Umum dengan Likuiditas Paling Solid, Ini Buktinya
Proyeksi Laba Tugu Insurance
Nur juga menjelaskan laba bersih yang diatribusikan untuk pemilik entitas induk TUGU selama 9 bulan ini bahkan mencapai 79 persen dari estimasi laba bersih konsensus, artinya pencapaiannya di atas ekspektasi. Ini merupakan kinerja yang positif. Dia optimis di sepanjang 2024, TUGU dapat mengantongi setidaknya laba bersih sebesar Rp700 miliar.
“Dengan perolehan laba bersih (core) yang tumbuh signifikan serta lampaui estimasi konsensus, ini akan menjadi katalis positif untuk pergerakan harga sahamnya. Saat ini TUGU masih bergerak di kisaran rasio Price to Book Value (PBV) 0,4x. Masih jauh terdiskon dibandingkan dengan peers dan industri asuransi umum sampai 1x dan industri keuangan dengan PBV 1,96x. Ini menunjukkan potensi upside masih terbuka” pungkas Nur.
Saat ini, konsensus analis memberikan rekomendasi beli saham TUGU dengan rata-rata target harga 12 bulan ke depan di Rp 2.050. Hal ini mengimplikasikan adanya potensi upside saham TUGU sebesar 81 persen dari harga penutupan terakhir apabila menyentuh nilai wajar yang dihitung oleh analis. (*)