Jakarta – Ekonom Asean dari UOB, Enrico Tanuwidjaja, membeberkan sebab pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tak bisa jauh lebih tinggi dari kisaran 5 persen.
Menurutnya, untuk membuat kenaikan PDB jauh lebih tinggi, diperlukan pertumbuhan kredit yang lebih cepat ketimbang pertumbuhan PDB.
“Menaikkan PDB Indonesia, pertumbuhan kreditnya harus lebih cepat dari pertumbuhan PDB. Kalau credit growth-nya 10 persen, PDB realnya 5 persen ya, tapi secara nominal itu mungkin 10 persen, berarti credit growth harus 20 persen,” terangnya pada konferensi pers UOB Economic Outlook 2025 di Jakarta, Rabu, 25 September 2024.
Dengan begitu, barulah tren PDB bisa terus mengalami kenaikan. Ia jelaskan, selama ini memang kredit dan PDB terus mengalami pertumbuhan.
Akan tetapi, jika pertumbuhan kredit dan PDB sama-sama stagnan, maka akan sukar untuk PDB Indonesia bertumbuh signifikan. Penyaluran kredit sangat erat kaitannya dengan pengembangan bisnis di Indonesia.
Baca juga : CELIOS: Transisi Ekonomi Hijau Berpotensi Tambah PDB Rp2.943 Triliun
Ia katakan, penyebab pertumbuhan kredit di Indonesia yang selalu stagnan di kisaran 12 persen adalah karena faktor risiko di beberapa sektor itu sukar untuk dinilai preminya. Bahkan, sebelum Covid-19, ia beberkan, pihaknya seringkali mengalami kesulitan untuk menilai cashflow sejumlah industri.
“Misalnya aset yang dijaminkan. Jadi, ketika kita memberikan kredit extention, itu banyak sekali pertimbangan,” sebutnya.
Selain itu, tingginya saving escape juga menghambat pertumbuhan kredit yang ada. Menurutnya, tren yang ada di masyarakat Indonesia adalah ketika mereka mendapatkan uang, uang tersebut langsung habis dibelanjakan untuk kebutuhan konsumsi, yang menyebabkan terbatasnya pertumbuhan pendanaan domestik dan alat investasi.
Oleh karenanya, peran literasi pendalaman pasar modal atau finansial sangat dibutuhkan saat ini, sehingga dana kredit dari saving bisa disalurkan ke sektor-sektor yang membutuhkannya melalui financial deepening.
“Kuncinya, financial deepening itu akan membantu untuk memperdalam pasar modal, sehingga rupiah jadi lebih stabil. Jadi, credit growth harus lebih cepat daripada PDB growth,” pungkasnya.
Di lain sisi, Global Markets Director UOB Indonesia, Sonny Samuel menyatakan pentingnya peran pemangku kebijakan seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menjaga dan meningkatkan financial deepening di Indonesia.
Baca juga : PDB RI Diprediksi Tumbuh 4,9 Persen di Semester II, Ekonom Ungkap Penyebabnya
Ia utarakan, hadirnya Local Currency Settlement (LCS) oleh BI yang bisa digunakan di beberapa negara Asia saat ini adalah langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap US dolar.
Lalu, peluncuran Central Counterparty (CCP) pada 30 September 2024 mendatang oleh BI juga akan membantu meningkatkan volume transaksi di Indonesia.
Volume transaksi valas maupun SBN diyakini akan meningkat di Indonesia berkat kehadiran CCP karena penurunan tingkat risiko counterparty. Di samping itu, produk-produk alternatif investasi yang kian banyak dan beragam belakangan ini, bakal meminimalisir tindakan penyimpanan dana di luar negeri.
“Ada deposit, obligasi pemerintah, obligasi korporasi, dan segalanya, menurut saya itu supaya mencegah uang yang gampang masuk, tapi keluarnya juga gampang. Maunya uang masuk, stay di perbankan Indonesia,” tukasnya. (*) Steven Widjaja