Jakarta – Krisis perbankan global masih terus berlanjut, terbaru First Republik Bank mengalami kebangkrutan menyusul Silicon Valley bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank. Hal ini memicu kekhawatiran terhadap kondisi keuangan dan perekonomian global yang masih bergejolak dan berimbas ke Tanah Air.
Praktisi Perbankan BUMN dan Peneliti Lembaga ESED, Chandra Bagus Sulistyo menyebutkan, bahwa kondisi ekonomi global saat ini masih belum kondusif. Di mana terjadinya beberapa gejolak keuangan ekonomi global khususnya di industri perbankan.
“Beberapa kondisi sistem ekonomi global yang kurang mendukung ini menyebabkan ekonomi keuangan dunia, dalam hal ini perbankan masih belum terkendali dengan baik,” kata Chandra saat dihubungi Infobanknews, Jumat, 12 Mei 2023.
Seperti diketahui, IMF telah merevisi pertumbuhan ekonomi global sebesar -0,1% di tahun 2023 menjadi berada pada level 2,8% dan di 2024 menjadi 3%. Menurut Chandra, koreksi pertumbuhan ekonomi tersebut akibat adanya pengetatan kebijakan untuk menahan tingginya laju inflasi di negara maju memperburuk kondisi keuangan dan berlanjut gangguan rantai pasokan.
“Kenapa sih ada perlambatan pertumbuhan ekonomi global? salah satunya kemarin kita mengetahui sendiri bahwa The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps pada Mei 2023 menjadi 5,25%, dimana kenaikan tersebut sebagai langkah AS untuk mengendalikan inflasi. Disusul dengan Bank Sentral Eropa yang juga mengikuti The Fed menaikan suku bunganya di level 3,25%,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini perlu diwaspadai oleh pemerintah, regulator serta pelaku industri keuangan di dalam setiap lini aktivitas perbankan untuk mengantisipasi dampak dari krisis perbankan dan ancaman resesi ekonomi global yang dikhawatirkan akan benar-benar terjadi.
“Ancaman resesi ekonomi global ini bukan sekadar wacana tetapi memang benar-benar terjadi, antisipasinya adalah perlu awareness kita semuanya di setiap lini aktivitas perbankan. Sehingga harapannya perbankan nasional bisa mengantisipasi terhadap ancaman ekonomi perbankan global yang kurang kondusif,” jelas Chandra.
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin mengatakan, secara umum kolapsnya bank-bank di luar negeri dikarenakan ada berbagai macam penyebabnya dan tak bisa disamaratakan. Artinya, Amin melihat bahwa terjadinya kebangkrutan di beberapa bank global tidak serta merta menjadi sinyal adanya krisis perbankan berlanjut.
“Masing-masing negara dan bank punya kebijakan, tapi memang secara umum ada aktivitas pola yang kurang lebih sama. Dalam hal ini mengacu kepada apa yang dilakukan oleh Federal Reserve, jadi kalau kemudian itu berimbas kepada sentral bank di negara lain dengan cara dan pola yang sama yaitu dengan menaikkan tingkat suku bunga dan kalau bank-bank di sana tidak siap tentu itu akan terkena dampak yang sama,” ungkap Amin.
Lebih lanjut, kata Amin, krisis perbankan yang ada di global tidak akan berdampak ke Indonesia, karena secara struktur industri keuangan di Tanah Air khususnya perbankan memiliki fundamental yang kuat. Selain itu, kondisi perbankan Indonesia tidak terlalu didominasi oleh transaksi-transaksi global, dan lebih mengarah kepada pergerakan ekonomi domestik.
“Secara umum juga jauh kondisi-kondisi yang ada di luar negeri dibandingkan dengan Indonesia kita cukup stabil. Jadi saya rasa sih krisis itu hanya akan terjadi di negara-negara lainnya. Meskipun beberapa pengamat bahkan pejabat mengatakan bahwa kita akan kena dampaknya mungkin tidak sekarang ya, tapi biasanya kita kena arus yang belakangan,” ungkapnya. (*)
Editor: Galih Pratama