Jakarta – Dunia, melalui 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah sepakat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Terdapat lima elemen yang menyokong tujuan pembangunan berkelanjutan itu, yakni manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan kemitraan.
Untuk elemen planet, di dalamnya meliputi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Atas dasar inilah kemudian berkembang konsep ekonomi hijau (green economy).
Ekonomi hijau sendiri dapat diartikan sebagai suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.
Sektor perbankan turut pula memainkan peranan dalam ekonomi hijau. Salah satunya melalui perbankan hijau (green banking) dan pembiayaan hijau (green financing), yang merupakan konsep keuangan hijau untuk menciptakan dan mendistribusikan produk serta layanan keuangan yang mendorong investasi ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Fokus utama konsep green financing adalah pengeluaran modal untuk proyek atau pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
Sejumlah bank di Indonesia telah menunjukan komitmennya untuk mendukung ekonomi hijau dan pembiayaan hijau. Sebagai contoh saja, BRI. Bank ini sudah menyatakan membatasi pembiayaan ke sektor energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Lalu, ada BNI, yang dengan cukup agresif menyalurkan pembiayaan hijau ke berbagai segmen. Selain kedua bank itu, sebetulnya ada bank-bank lain juga yang berkomitmen untuk mendukung ekonomi hijau.
Di lain sisi, sektor pertambangan, termasuk batu bara dan minyak bumi, tentu posisinya sangat jauh dengan konsep dan semangat ekonomi hijau. Salah satu sebabnya, komoditas tambang umumnya bukanlah “produk” terbarukan. Lalu, seperti apa penyaluran kredit perbankan ke sektor tambang saat ini?
Berdasarkan data OJK, sampai dengan Februari 2022, perbankan di Indonesia menyalurkan kredit sebesar Rp158,13 triliun ke sektor pertambangan dan penggalian. Secara tahunan, nilai kredit itu tumbuh 27,10% atau dari Rp124,41 triliun di Februari 2021.
Di antara sektor-sektor kredit lainnya (kredit bank kepada pihak ketiga bukan bank berdasarkan lapangan usaha), pertumbuhan kredit ke sektor pertambangan dan penggalian merupakan yang tertinggi kedua, setelah jasa kemasyarakatan yang melayani rumah tangga, yang sebesar 28,97%.
Meski pertumbuhannya jadi salah satu yang tertinggi, tapi dari sisi market share, kredit ke sektor pertambangan dan penggalian bukanlah salah satu yang terbesar. Dari total kredit perbankan kepada pihak ketiga bukan bank per Februari 2022 yang sebesar Rp5.762,40 triliun, kredit pertambangan dan penggalian hanya berkontribusi 2,74%. Kontributor kredit terbesar adalah sektor perdagangan besar dan eceran yakni 16,99% atau Rp979,29 triliun dan industri pengolahan yakni 16,52% atau Rp951,99 triliun.
Tapi, jika melihat dari sisi kualitas kredit, NPL kredit pertambangan dan penggalian terbilang merupakan salah satu yang tertinggi. Per Februari 2022, NPL kredit pertambangan dan penggalian tercatat 5,02%. Dari 18 lapangan usaha penerima kredit, ada 4 sektor yang NPL-nya di atas 5%, yakni transportasi, pergudangan, dan komunikasi yakni 6,46%, perikanan yakni 6,13%, industri pengolahan yakni 5,08% dan terakhir sektor pertambangan dan penggalian.
Sementara, melesatnya harga batu bara yang terus terjadi belakangan ini diperkirakan bakal membuat perbankan masih akan melirik sektor pertambangan. Banyak pihak melihat permintaan batu bara secara global dan di dalam negeri cukup tinggi sejalan dengan konflik Rusia-Ukraina dan pemulihan permintaan industri maupun rumah tangga. Dan ini adalah peluang bagi perbankan untuk terus menyalurkan kredit, khususnya ke sektor pertambangan dan penggalian. Lalu, bagaimana dengan ekonomi hijau? Dilema. (*) Ari Nugroho