Jakarta – Pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berdasarkan data uang beredar (M2) Bank Indonesia (BI) pada Mei 2024 mengalami peningkatan sebanyak 7,3 persen, sementara total kredit bank tumbuh 11,4 persen pada periode yang sama.
Ekonom Senior dan Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto, mengatakan bahwa dalam konteks ekspansi pinjaman ke segmen UMKM tidak terjadi masalah. Namun, yang perlu disoroti adalah pergerakan kredit macet atau non-performing loan (NPL) gross yang mencapai 4,25 persen per April 2024 kemarin.
“Karena kalau kita bandingkan dengan year on year tahun lalu, kenaikannya cukup signifikan, karena memang impact daripada landscape ekonomi dunia yang bergeser atau berubah, tapi bisa juga karena per 31 Maret tahun ini pemberlakuan POJK kelonggaran risk through effect pandemi Covid-19 sudah tidak berlaku lagi, nah saya kira ini juga bisa mendorong secara sistemik atau secara regulatif kenaikan percentage point daripada NPL tadi,” ucap Ryan dalam Market Review di Jakarta, 15 Juli 2024.
Menurut Ryan, hal itu terjadi dikarenakan pembukuan atau pencatatan oleh bank-bank penyalur kredit UMKM menjadi tarif harga normal yang memicu pembebanan atas rasio Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) ikut kembali ke tarif normal.
Baca juga: Airlangga Buka Opsi Perpanjang Restrukturisasi Kredit Segmen KUR
“Jadi ini saya kira indikasi, tapi yang perlu kita catat juga, perlu kita amatin mungkin ya kita lihat nanti 3-6 bulan ke depan, sekiranya tendensi kenaikan NPL growth untuk UMKM itu terus melaju, berarti memang ada something wrong dengan ekonomi kita, terutama ekonomi yang skala usaha mikro kecil menengah ini,” imbuhnya.
Sehingga, kata Ryan, pemicu dari meningkatnya besaran kredit macet UMKM perlu dikaji lebih dalam. Hal itu dilakukan untuk menjaga level NPL agar tidak terus meningkat yang nantinya dapat membebani perbankan yang memberikan kredit UMKM.
Di sisi lain, porsi pembiayaan ke UMKM hingga saat ini telah menurun ke posisi sekitar 19 persen dari total outstanding kredit. Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki ekspektasi porsi pembiayaan ke UMKM minimal 30 persen.
“Artinya apa? Porsi pembiayaan ke segmen nonUMKM justru bertambah, sebaliknya porsi pembiayaan ke UMKM justru stagnan. Karena yang besar bertambah tentu akan mendiskon ya yang porsi UMKM. Nah ini harus kita cermati juga,” ujar Ryan.
Baca juga: Per Mei 2024, Kredit Bermasalah UMKM Capai 4,27 Persen
Oleh karena itu, ke depannya perlu dilakukan mitigasi risiko dan dukungan untuk memperbesar ceruk pasar untuk pembiayaan UMKM. Pasalnya, segmen UMKM menjadi salah satu tulang punggung ekonomi di Indonesia.
Meski begitu, Ryan menyatakan, dari sisi likuiditas perbankan masih ample. Terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan masih berada di angka sekitar 75 persen.
“Jadi masih nggak ada masalah, bahkan sebagian bank saya tahu persis masih menempatkan akses likuiditasnya ke surat-surat berharga negara. Jadi no issue,” tambahnya. (*)