Jakarta – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyoroti persoalan Penjabat (Pj) Gubernur yang seenaknya mencopot Direktur hingga jajaran Direksi Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Anggota Komisi XI Fauzi H. Amro mengatakan bahwa Pj Gubernur yang dengan mudah mengganti Direktur dan Direksi dari BPD seperti mengganti pelat dinas.
“Ada Pj Gubernur ini mengganti Direktur dan jajaran Direksinya itu seperti mengganti pelat dinas,” ujar Fauzi dalam Raker dengan Ketua DK OJK di DPR RI, Rabu 26 Juni 2024.
Sehingga, Fauzi meminta agar OJK untuk bertindak secara tegas menerapakan POJK nomor 17 tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.
Adapun dalam POJK tersebut menyatakan bahwa pergantian direktur utama dan direktur kepatuhan, apalagi antar waktu atau belum selesai masa jabatan, maka satu bulan sebelumnya harus diberitahukan kepada OJK.
“Nah ini Pak kalau tidak diterapkan di POJK No. 17 2023, ini Pj-Pj yang sekarang seperti mengganti pelat dinas, seenak udelnya bae Pakseenak udelnya bae Pak. Nah oleh sebab itu saya mohon kepada OJK untuk memberikan respon atau membatalkan (pergantian direksi BPD) karena tidak sesuai dengan aturan dan mekanisme,” jelasnya.
Baca juga: OJK Tegaskan Peran Besar BPD dalam Mendorong Perekonomian Daerah
Dia pun mencontohkan, dalam kasus yang terjadi, di mana aksi “copot mencopot” terjadi pada Direktur Utama (Dirut) NTT Alex Riwu Kaho yang diberhentikan oleh Pj Gubernur beberapa waktu lalu.
Adapun Alex Riwu Kaho diberhentikan oleh Pj Gubernur NTT Ayodhia Kalake sebagai pemegang saham pengendali (PSP) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank NTT di Kantor Gubernur NTT, Rabu, 8 Mei 2024. Padahal, saat ini Pj Gubernur tersebut sudah tidak lagi menjabat.
“Di bank NTT Pj sekarang sudah ganti lagi bukan Pj yang lama , RUPS yang dipaksakan, OJK perwakilan NTT tidak pernah berkomunikasi tentang ini. Tiba-tiba Direktur dan jajaran Direksinya diganti dan tidak ada teguran dari OJK, malah OJK di intervensi oleh orang-orang tertentu,” ungkapnya.
Jangan sampai, kata Fauzi. perwakilan OJK di daerah tidak dianggap. Sebab, seharusnya pergantian Direktur dan Direksi bank harus di test terlebih dahulu oleh OJK.
“Tindakan dari OJK gak ada sama sekali, ada isu udah bubarin aja OJK di daerah itu gak ada gunanya, oleh sebab itu menurut saya ini menjadi perhatian khusus jangan sampai BPD-BPD di daerah mengganti jajarn direktur dan jajaran direksinya oleh Pj-nya seperti mengganti kepala dinas yang gak ngerti tentang tata kelola keuangan,” imbuhnya.
Sebelumnya, menanggapi aksi “copot mencopot” yang dilakukan Pj Gubernur NTT, Pengamat Hukum Perbankan Petrus E. Jemadu mengatakan, seorang PSP tidak boleh seenaknya mengganti pengurus Bank NTT.
“Lembaga keuangan khususnya bank, harus tunduk pada lex spesialis atau aturan khusus, karena itu ada undang-undang perbankan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” kata Jemadu seperti dikutip dari koranntt, 19 Mei 2024.
Lebih jauh dia menjelaskan, yang bertanggung jawab membina perbankan nasional adalah OJK, dengan tujuan agar bank-bank bisa tumbuh berkelanjutan, untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
“Karena itu, pergantian direksi dan komisaris tunduk pada regulasi khusus UU perbankan, UU OJK, dan semua POJK itu. Tidak tunduk pada syarat-syarat calon direksi dan komisaris dalam Permendagri No 27. Itu untuk perusahan daerah umum, bukan khusus. Kalau khusus tunduk pada UU perbankan. Rezimnya, rezim hukum perbankan, bukan rezim otonomi daerah,” tegas Jemadu.
Jemadu melanjutkan, dalam POJK nomor 17 tahun 2023 disebutkan pergantian direktur utama dan direktur kepatuhan, apalagi antar waktu atau belum selesai masa jabatan, maka satu bulan sebelumnya harus diberitahukan kepada OJK.
Baca juga: Bos Bank Sumut: Digitalisasi Jadi ‘Senjata’ BPD Lawan Bank Besar
Pun demikian dengan posisi komisaris. Menurutnya, yang ingin menjadi komisaris harus memiliki sertifikat manajemen risiko atau Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) level 4. Ini mengingat Bank NTT sudah menjadi bank devisa.
“Dulu kami mau jadi komisaris, harus sampai BSMR level 2. Sekarang sampai level 4, karena Bank NTT masuk bank devisa,” jelas eks Komisaris Independen Bank NTT itu.
Sementara menurut pengamat hukum perbankan yang tidak mau disebut namanya. OJK mendapat tantangan dari POJK yang dibuatnya sendiri. Tapi sayangnya pejabat OJK daerah sering kali menganggap dirinya anak buah Gubernur dan Gubernur sendiri menganggap raja di daerah. Padahal, OJK itu independen dan tidak bermental bawahan Gubernur.
Banyak pejabat OJK daerah merendahkan dirinya di depan Gubernur. Harusnya punya keberanian. Dan, OJK juga berani melakukan evaluasi dari keputusan Pj Gubernur yang menurut kami tidak sesuai dengan POJK tentang tata kelola yang dibuat sendiri,” kata pengamat hukum perbankan yang tak mau disebut namanya kepada Infobank. (*)
Editor: Galih Pratama