Analisis

Kolapsnya Sejumlah Lembaga Perbankan AS Bukti Masih Lemahnya Sistem Bank

Jakarta – Domino effect dari kolapsnya Silicon Valley Bank masih berlangsung. Teranyar, First Republic Bank menjadi bank kedua asal AS yang kolaps pada Senin (1/5) setelah Silicon Valley Bank. Bank itu telah diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation atau FDIC dan dijual ke JP Morgan Chase Bank pada Senin kemarin.

Hal ini sekali lagi menjadi pelajaran bagi pelaku dan otoritas industri keuangan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berisiko, mengingat dampak kegagalan dari keputusan yang berisiko itu bisa dengan cepat menyebar ke hampir seluruh industri keuangan. Kejadian ini seharusnya bisa menjadi pendorong untuk para policy makers atau otoritas terkait untuk sungguh-sungguh menyelesaikan masalah sistemik yang telah menjangkiti industri perbankan sejak krisis pinjaman dan tabungan pada era 1980an, krisis keuangan tahun 2008, hingga krisis yang dipicu oleh kolapsnya Silicon Valley Bank saat ini.

Pihak regulator selama ini terlihat cenderung menyalahkan jajaran manajemen lembaga perbankan yang dinilai tidak berhati-hati dan memiliki pengawasan yang lemah dalam mengelola likuiditas lembaga perbankannya. Lembaga perbankan cenderung menyediakan dana insentif yang besar, yang kemudian mendorong jajaran eksekutifnya untuk menumbuhkan keuntungan secara agresif, dengan sedikit pertimbangan akan konsekuensi yang dapat terjadi.

Krisis pada tahun 2008 misalnya bisa memberikan kita gambaran yang jelas terkait bagaimana semua level pembiayaan mortgage, dari perusahaan-perusahaan pembiayaan yang bertengger di Wall Street maupun yang tidak. Dimana para eksekutifnya mengambil keuntungan melalui kebijakan berisiko tinggi.

Dalam bentuk sekuritas, para pemberi pinjaman ini menyalurkan hipotek debitur yang sudah tak sanggup melunasi utangnya ke para investor di Wall Street. Hal ini kemudian memicu kesulitan keuangan ketika kinerja sektor properti tengah mengalami penurunan, yang lalu disertai dengan masifnya penyitaan objek transaksi.

Dengan model seperti ini, pendapatan bank investasi seperti Bear Stearns dan Lehman Bros tercatat bertumbuh. Bank-bank itu mengubah pinjaman-pinjaman berisiko menjadi sekuritas yang ditopang hipotek untuk ditransaksikan di pasar modal. Ketika gelombang penyitaan terjadi, nilai dari sekuritas-sekuritas tersebut mengalami penurunan, sehingga membuat Bear Stearns kolaps dan memicu krisis keuangan pada awal 2008.

Krisis keuangan kemudian semakin diperparah lagi dengan kolapsnya Lehman di bulan September pada tahun yang sama. Yang mana melumpuhkan sistem keuangan global hingga membuat ekonomi AS mengalami resesi terburuk sejak peristiwa Great Depression.

Para eksekutif di lembaga-lembaga perbankan tersebut telah meraup keuntungan dan tidak ada satu pun dari antara mereka yang diminta pertanggung jawabannya. Para peneliti dari Universitas Harvard memperkirakan bahwa jajaran eksekutif di Bear Stearns and Lehman telah mengantongi total keuntungan sebesar USD2,4 miliar dari bonus tunai dan penjualan saham yang dilakukan pada periode 2000 sampai 2008.

Sementara pada kasus Silicon Valley Bank (SVB), jajaran eksekutifnya memperjual belikan aset-aset perbankan di sekuritas jangka panjang yang ditopang oleh kas dan hipotek SVB. Dimana mereka gagal melindungi nilai aset tersebut dari dampak kenaikan suku bunga di AS. Apalagi, SVB yang kebanyakan menggalang dana dari startup-startup teknologi, juga semakin terpuruk dengan adanya fenomena tech winter yang menimpa industri startup teknologi.

Saat penggalangan dana startup melambat dan para pebisnis startup mulai melakukan penarikan dana, SVB lalu menjual kepemilikan saham jangka panjangnya yang merugi untuk meng-cover penarikan dana tersebut. Ketika informasi kerugian bank bocor, para deposan kehilangan kepercayaannya, memicu terjadinya rush yang berakhir dengan kolapsnya lembaga kreditur untuk industri startup itu.

Namun, para eksekutifnya justru meraup keuntungan dari krisis yang ada. Bonus tunai yang didapat CEO Silicon Valley Bank Greg Becker meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi USD3 juta pada tahun 2021 dari USD1,4 juta pada tahun 2017, yang mana meningkatkan total pendapatannya menjadi USD10 juta, naik 60% dari empat tahun sebelumnya. Becker juga menjual hampir USD30 juta saham selama dua tahun terakhir, termasuk sekitar USD3,6 juta pada hari-hari menjelang kolapsnya SVB.

Menyusul SVB, harga saham banyak bank menengah lainnya juga turut jatuh. Sebut saja Signature Bank, yang juga kolaps beberapa hari setelah kolapsnya Silicon Valley Bank.

Untuk First Republic sendiri sebenarnya telah selamat dari kepanikan yang terjadi pada awal Maret setelah diselamatkan oleh konsorsium bank besar yang dipimpin oleh JPMorgan Chase. Meskipun demikian, dampak negatif telah terjadi. First Republic baru-baru ini melaporkan bahwa deposan menarik lebih dari USD100 miliar dalam enam minggu paska kolaspnya Silicon Valley Bank. Dan pada tanggal 1 Mei, FDIC mengambil alih First Republic dan menjualnya ke JPMorgan Chase.

Bank juga dilaporkan mengalami kerugian yang belum terealisasi senilai lebih dari USD620 miliar pada akhir tahun 2022. Sebagian besar karena kenaikan suku bunga yang cepat.

Jadi, apa yang seharusnya dilakukan? Dikutip dari artikel di LA Times yang ditulis oleh Alexandra Digby selaku asisten profesor jurusan ekonomi di University of Rochester, Dollie Davis selaku asisten dekan di fakultas ekonomi University of Rochester, dan Robson Hiroshi Hatsukami Morgan selaku asisten profesor jurusan ilmu sosial di Minerva University, Selasa (2/5), RUU bipartisan berjudul Failed Bank Executives Clawback yang baru-baru ini diajukan ke Kongres AS, dinilai sebagai awalan yang baik untuk memberikan solusi komprehensif dalam kasus kegagalan bank.

Bagaimana tidak, jika terjadi kegagalan bank, undang-undang tersebut akan mendorong regulator untuk menarik kembali kompensasi yang diterima oleh eksekutif bank dalam periode lima tahun sebelum kegagalan bank terjadi.

Artikel tersebut juga menyarankan bahwa RUU Clawbacks hendaknya juga disertai dengan serangkaian regulasi yang bersifat preventif. Regulator dinilai perlu memaksa jajaran eksekutif untuk memprioritaskan kinerja jangka panjang daripada sekedar mencari keuntungan jangka pendek. Regulasi preventif diharapkan juga dapat mencegah para eksekutif untuk mengumpulkan dana dan kabur begitu saja ketika bank kolaps, melalui aturan pelarangan penjualan saham sampai mereka pensiun.

Krisis keuangan akan terus berulang kecuali jajaran eksekutif perbankan memiliki alasan yang kuat untuk mempertimbangkan kepentingan seluruh sistem perbankan, dan bukan hanya pada keuntungan jangka pendek yang dapat diperoleh untuk memperkaya diri sendiri dan pemegang sahamnya. Steven Widjaja

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

IHSG Dibuka Menguat 0,11 Persen ke Level 7.500

Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (6/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More

1 hour ago

IHSG Rawan Terkoreksi, Saham ANTM hingga TINS Direkomendasikan Analis

Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More

2 hours ago

PP Hapus Tagih Diteken Presiden Prabowo, Jumlahnya Capai Rp8,7 Triliun

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang… Read More

4 hours ago

AXA Mandiri Meluncurkan Produk Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera

Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More

11 hours ago

Bank NTT dan Bank Jatim Resmi Jalin Kerja Sama Pembentukan KUB

Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More

12 hours ago

Ekonomi RI Tumbuh 4,95 Persen di Kuartal III 2024, Airlangga Klaim Ungguli Singapura-Arab

Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More

13 hours ago