Poin Penting
- Konservasi elang jawa membutuhkan kolaborasi multistakeholder lintas pemerintah, komunitas, peneliti, dan sektor swasta.
- Raja Dirgantara dilepasliarkan di TNGGP setelah rehabilitasi dan dipantau dengan GPS.
- Riset Gunung Muria jadi dasar konservasi jangka panjang berbasis perlindungan habitat.
Jakarta – Upaya menyelamatkan elang jawa ( Nisaetus bartelsi) dari ancaman kepunahan semakin menegaskan satu hal penting: konservasi tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan kolaborasi multisektor yang solid, mulai dari pemerintah, lembaga konservasi, peneliti, komunitas, hingga sektor swasta, untuk memastikan spesies endemik Pulau Jawa sekaligus simbol nasional Garuda Indonesia ini tetap bertahan di alam liar.
Berdasarkan IUCN Red List, elang jawa berstatus Endangered. Tekanan terhadap populasinya terus meningkat seiring laju deforestasi, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa liar.
Padahal, keberadaan elang jawa merupakan indikator kesehatan hutan Jawa. Hilangnya spesies ini bukan sekadar kehilangan keanekaragaman hayati, melainkan juga sinyal rusaknya ekosistem.
Kesadaran itulah yang mendorong intensifikasi kolaborasi lintas pemangku kepentingan (multistakeholder). Pemerintah bersama lembaga konservasi dan peneliti terus menguatkan edukasi publik, rehabilitasi satwa, hingga pelepasliaran satwa.
Momentum penting terjadi pada 13 Desember 2025, ketika seekor elang jawa bernama Raja Dirgantara—hasil serahan masyarakat—berhasil dilepasliarkan kembali ke kawasan Situgunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Baca juga: Djarum Foundation Perkuat Upaya Selamatkan Elang Jawa
Proses rehabilitasi lebih dari satu tahun yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa (PPKEJ) memastikan satwa tersebut kembali memiliki insting berburu dan kondisi fisik yang layak untuk bertahan hidup di alam liar.
Pemasangan GPS transmitter menjadi langkah lanjutan untuk memantau proses adaptasi, jelajah wilayah, dan peluang hidup pascapelepasliaran. Langkah ini mencerminkan pendekatan konservasi modern yang tidak berhenti pada seremoni, tetapi berkelanjutan dan terukur.
Pelepasliaran tersebut menjadi bagian dari rangkaian “Pekan Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa” yang menegaskan pentingnya sinergi lintas lembaga. Djarum Foundation bersama Burung Indonesia tercatat sebagai salah satu pemangku kepentingan nonpemerintah yang aktif mendukung program konservasi raptor melalui berbagai inisiatif berkelanjutan.
Riset Ilmiah Perkuat Fondasi Konservasi

Di sisi lain, fondasi konservasi jangka panjang juga diperkuat oleh riset ilmiah. Kajian Populasi dan Distribusi Elang Jawa di Gunung Muria, Jawa Tengah, pada Juni–Agustus 2025 menjadi salah satu studi paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Studi tersebut mengidentifikasi sedikitnya 10 individu elang jawa, dengan estimasi populasi mencapai 14 individu di seluruh bentang Gunung Muria. Lanskap ini dinilai masih memiliki daya dukung hingga 22 individu dewasa, meski ancaman kerusakan habitat dan perburuan ilegal tetap nyata.
Temuan ini bukan sekadar data, melainkan pijakan strategis bagi perencanaan konservasi berbasis lanskap. Perlindungan pohon bersarang, praktik pertanian berkelanjutan, dan restorasi habitat menjadi rekomendasi utama agar konservasi tidak bersifat simbolik, melainkan berdampak jangka panjang.
Dalam konteks inilah kemitraan menjadi krusial. Dukungan Djarum Foundation terhadap riset biodiversitas, rehabilitasi, hingga pelepasliaran menunjukkan bagaimana sektor nonpemerintah dapat memperkuat kapasitas konservasi nasional.
Baca juga: Jaga Kelestarian Pesisir, Maximus Tanam 40.000 Mangrove di Pulau Pari Bersama Infobank
Presiden Direktur Djarum Foundation, Victor Hartono, menegaskan bahwa elang jawa bukan hanya kekayaan alam, tetapi juga bagian dari identitas bangsa.
“Menjaga keberlangsungan hidupnya harus menjadi tanggung jawab bersama. Kolaborasi lintas sektor akan menciptakan model konservasi yang berkelanjutan dan dapat dikembangkan secara mandiri oleh komunitas,” ujarnya.
Sementara Communication Manager Burung Indonesia, Muhammad Meisa menyampaikan bahwa perhitungan konservatif memperkirakan total populasi dapat mencapai 14 individu di seluruh bentang Gunung Muria, terdiri dari 5 pasang dewasa dan 4 remaja.
Lebih jauh, konservasi elang jawa tidak dapat berhenti pada pelepasliaran semata. Integrasi dengan restorasi lanskap menjadi keniscayaan. Perlindungan zona sarang, pertanian ramah burung, restorasi hutan dengan pohon lokal, hingga patroli berbasis masyarakat merupakan agenda jangka panjang yang menentukan stabilitas populasi di alam.
Perjalanan Raja Dirgantara kembali ke habitatnya dan temuan populasi di Gunung Muria membuka optimisme baru. Namun, keberlanjutan harapan tersebut hanya dapat dijaga melalui sinergi multipihak. Kolaborasi multistakeholder kini menjadi kunci, bukan hanya untuk menyelamatkan elang jawa, tetapi juga menjaga warisan ekologis Indonesia bagi generasi mendatang. (*)










