Jakarta – Meski tercatat defisit, kinerja perdagangan Indonesia di sepanjang 2018 dinilai masih tumbuh positif dan memiliki potensi besar ke depannya. Sejumlah misi dagang dan perjanjian dagang yang banyak dilakukan Kementerian Perdagangan di sepanjang tahun kemarin, diyakini cukup sukses mendongkrak kinerja ekspor non migas dan menahan defisit perdagangan lebih besar.
“Perjanjian-perjanjian dagang itu kan meminimalkan ketidakpastian pasar. Walaupun memang untungnya tidak banyak, tetapi lebih terjamin pembelinya,” ujar Guru Besar Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 10 Januari 2019.
Perjanjian dagang dan misi dagang yang lumayan banyak dilakukan pada tahun lalu, telah menumbuhkan harapan lebih terjaminnya tingkat ekspor beberapa komoditas andalan Indonesia ke depan. “Memang tidak semua, tapi yang penting-penting setidaknya. Kayak perjanjian dagang itu kan ibarat mereka mau beli punya kita, kita juga beli punya mereka. Lebih pasti,” ucapnya.
Di sepanjang tahun lalu, Kemendag memang aktif membuat perjanjian dagang. Tercatat sebanyak 8 perjanjian dagang telah teratifikasi. Menyusul dua perjanjian yang tengah dalam proses ratifikasi, yaitu Indonesia-Chile CEPA dan ASEAN-Hong Kong FTA and Investment Agreement. Kemendag juga telah melakukan penandatanganan terhadap 4 perjanjian dagang kawasan, yakni 10th ASEAN Framework Agreement on Services, First Protocol to Amend ATIGA, ASEAN Agreement on Electronic Commerce, dan Indonesia-EFTA CEP Berbagai perjanjian dagang ini diperkirakan meningkatkan ekspor hingga US$1,9 miliar.
Tahun lalu, Kemendag juga sudah melakukan misi dagang di 13 negara, yang sebagian besar adalah pasar nontradisional. Dalam misi tersebut, transaksi yang dihasilkan mencapai US$14,79 miliar. Jumlah ini tumbuh 310% dibandingkan transaksi misi dagang 2017 sebesar US$3,6 miliar. Hanya saja, menurut Candra, perjanjian maupun misi dagang tak bisa secara langsung menguatkan neraca perdagangan. Pasalnya, beberapa harga komoditi dunia yang menjadi dagangan utama Indonesia, seperti minyak sawit dan batu bara, mengalami penurunan harga.
Di sisi lain, tambah dia, konsumsi migas Indonesia yang kian membesar dan tidak diimbangi dengan produksi, membuat defisit neraca perdagangan pada tahun 2018 membengkak. Tercatat di sepanjang Januari—November 2018 saja, total defisit perdagangan dari sektor migas mencapai US$12,15 miliar. Besarnya defisit ini disebabkan meningkatkan impor migas pada periode yang sama.
Perlu diketahui, sampai November kemarin total nilai impor migas Indonesia mencapai US$27,81 miliar, naik US$6,06 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. “Jadi kalau dilihat memang migasnya ini ya. Nonmigas sudah cukup bagus, cuma memang masih perlu peningkatan,” tuturnya.
Neraca perdagangan nonmigas sendiri sebenarnya masih mencatatkan surplus. Setidaknya dari Januari-November 2018, neraca perdagangan sektor ini positif US$4,64 miliar. Ekspor non migas secara total tercatat sebesar US$150,15 miliar di 2018, naik 7,46% dibanding 2017 yang tercatat sebesar US$139,72 miliar.
Senada, Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengungkapkan, sejauh ini sektor migaslah yang menjadi penyebab neraca perdagangan Indonesia terpuruk di sepanjang 2018 kemarin. Tinggginya defisit ini disebabkan oleh menurunnya ekspor migas dan naiknya impor migas. Sebaliknya, nonmigas masih membukukan neraca positif.
“Masih ada surplus di untuk neraca perdagangan nonmigas pada 2018. Jadi, memang di bagian migas kita yang parah. Ekspor turun, ditambah impor migas kita naik. Tapi kalau dibandingkan di 2017 surplus untuk nonmigas pasti lebih besar,” paparnya.
Menurutnya, terdapat dua faktor yang menyebabkan tekanan pada ekspor nonmigas pada 2018. Pertama, penurunan harga komoditas unggulan baik batu bara, crude palm oil (CPO), maupun karet. Sementara, 70% ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas berbasis sumber daya alam.
Di sisi lain, negara tujuan utama ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dia mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,9% pada 2017 diprediksi turun menjadi 6,7% di 2018. “Nah, itu pengaruh sekali. Jadi ada dua faktor, harga dan volume, dua-duanya turun,” jelas dia.
Sementara itu, di sisi impor, ekonomi Indonesia tengah mengalami ekspansi, sehingga memerlukan impor yang lebih besar. Salah satunya, berbagai barang yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur. “Infrastruktur mau jadi, MRT kereta harus masuk ke sini kan, LRT masuk ke sini. Jadi sebagian besar impor kita memang mengalami kenaikan karena ada kebutuhan infrastruktur,” imbuhnya.(*)