Jakarta – Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Dian Ediana Rae menyampaikan, bahwa kinerja industri perbankan selama 2022 terjaga baik dan tumbuh positif serta mampu menahan tekanan perekonomian global.
Kinerja perbankan yang positif tersebut tidak terlepas dari pengawasan dan pengaturan yang dilakukan OJK, juga dukungan kebijakan fiskal maupun moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
“OJK optimis bahwa kondisi perbankan akan tetap terjaga dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, meskipun perlu diwaspadai risiko di tengah ketidakpastian global yang dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi,” kata Dian dalam keterangan resmi, Selasa, 10 januari 2023.
Selain itu, OJK akan melanjutkan kebijakan mengenai konsolidasi perbankan, penguatan pengawasan yang terintegrasi, penguatan integritas industri perbankan, akselerasi pengembangan perbankan Syariah dengan meninjau ulang strategi pengembangan yang selama ini dilakukan, peningkatan akses dan kualitas commercial presence bank-bank Indonesia di negara lain, serta peningkatan kualitas pelayanan dan digitalisasi perbankan dalam mewujudkan well-functioning banking system yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Tercatat hingga November 2022, kredit perbankan tumbuh 11,16% yoy sedangkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 8,78% yoy. Tingkat pertumbuhan kredit dan DPK tersebut telah mencatatkan tingkat pertumbuhan yang melebihi level pra-pandemi Covid-19 dengan indikator risiko perbankan yang terjaga.
Perkembangan perbankan yang baik juga tercermin dari kondisi likuiditas yang ample tercermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 134,97% dan 30,42%. Rasio likuiditas tersebut masih jauh di atas threshold, walaupun lebih rendah dari periode tahun lalu karena akselerasi penyaluran kredit dan kebijakan kenaikan rasio GWM.
Kemudian, permodalan bank juga tergolong kuat dan diyakini mampu menyerap risiko yang dihadapi dengan CAR sebesar 25,49%. Risiko kredit cenderung menurun tercermin dari rasio NPL baik gross dan nett masing-masing sebesar 2,65% dan 0,75%, sementara itu Loan at Risk sebesar 15,12%.
“Penurunan risiko kredit tersebut antara lain disebabkan membaiknya kualitas kredit yang direstrukturisasi dampak Covid-19,” kata Dian.
Capaian tersebut tidak terlepas dari kebijakan OJK kepada industri perbankan dan pelaku usaha, antara lain perpanjangan restrukturisasi kredit dan beberapa kebijakan lain dalam upaya menghadapi dampak penyebaran Covid-19, Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), serta relaksasi restrukturisasi kredit terhadap debitur yang terkena dampak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
Selain itu, bauran kebijakan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah memberikan situasi dan kondisi ekonomi yang kondusif. Kebijakan tersebut dinilai mampu mengatasi tantangan yang cukup besar selama 2022 antara lain dampak pandemi Covid-19, tuntutan masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan, global supply chain disruption, kenaikan suku bunga global, serta capital outflow.
Meski stabilitas sistem keuangan saat ini terjaga baik namun perlu dicermati risiko di tengah ketidakpastian global yang dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Beberapa risiko yang perlu diwaspadai perbankan antara lain scarring effect pandemi Covid-19, kenaikan yield surat berharga, potensi depresiasi Rupiah dan penurunan likuiditas.
“Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kebijakan perbankan ke depan antara lain diarahkan pada penguatan pengaturan dan pengawasan perbankan serta pengembangan Industri Perbankan yang sehat, efisien dan berintegritas,” pungkasnya.
OJK akan terus melakukan penguatan early warning system yang didukung dengan teknologi informasi sehingga dapat lebih awal mendeteksi permasalahan keuangan maupun aspek lain serta melakukan tindakan pengawasan secara lebih dini sebelum permasalahan tersebut berlarut-larut dan menjadi besar.
Sejalan dengan program tersebut, OJK akan melanjutkan konsolidasi perbankan terutama terhadap perbankan syariah, Bank Pembangunan Daerah dan BPR/BPRS.
Konsolidasi BPD dilakukan melalui pembentukan Kelompok Usaha Bank (KUB) Terintegrasi yaitu dengan Bank berskala besar sebagai Bank Induk yang dapat memenuhi kebutuhan likuiditas dan permodalan serta tercipta sinergi dalam perluasan produk dan layanan perbankan, penguatan tata kelola dan infrastruktur (teknologi dan SDM), peningkatan customer base.
Sedangkan, akselerasi konsolidasi BPR/BPRS dilakukan melalui skema penggabungan usaha, pembentukan holding terhadap BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, pembentukan Anchor Bank bagi BPR/BPRS milik Pemda, dorongan kepada pemilik untuk melakukan self-liquidation dalam hal tidak mampu mengembangkan BPR/BPRS dan implementasi exit policy.
“Dengan berbagai bauran strategi pengawasan dan kebijakan tersebut, OJK optimis bahwa perbankan ke depan akan lebih resilient dalam menghadapi tingginya ketidakpastian perekonomian global,” ujar Dian.
OJK akan terus memantau perkembangan kondisi perekonomian global dan domestik untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan akan tetap efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu OJK akan senantiasa proaktif dan memperkuat kolaborasi dengan para stakeholder dalam menjaga kondisi dan kinerja perbankan yang sehat. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra