Jakarta – Pasar saham Tiongkok telah menghadapi tekanan signifikan dalam beberapa bulan terakhir, menyusut tajam dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor global. Pelemahan ini tidak hanya memengaruhi perekonomian domestik Tiongkok, tetapi juga memengaruhi pasar internasional.
Aksi jual yang semakin dalam pada saham-saham Tiongkok memperburuk krisis kepercayaan terhadap negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, memaksa para pengambil kebijakan untuk menghentikan penurunan tersebut.
Indeks acuan saham-saham di Tiongkok hampir mendekati level terendah sejak Januari 2019. Turun hampir 7 persen tahun ini, Indeks CSI 300 mengalami penurunan tahunan keempat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sementara indeks saham Tiongkok milik MSCI Inc. sedang menuju ke kinerja buruk terpanjang sejak pergantian abad ini.
Penurunan daya beli masyarakat dan ketegangan geopolitik jelang Pemilu Amerika Serikat (AS) membuat dorongan jual di pasar saham Tiongkok semakin meningkat.
Pemerintahan Xi Jinping sendiri menanggung risiko yang tak sedikit dari kemerosotan kinerja saham domestiknya. Kemerosotan pasar saham semakin mengikis kepercayaan konsumen dan dunia usaha, sehingga memicu feedback loop deflasi terhadap perekonomian.
Itulah salah satu alasan mengapa dana yang didukung negara sebesar miliaran dolar untuk mencoba menopang harga saham, tidak membuahkan hasil.
Meskipun para investor telah mendesak pihak berwenang untuk mengeluarkan stimulus ekonomi yang lebih kuat, Beijing sejauh ini tidak menunjukkan minat terhadap tindakan yang lebih besar untuk membantu menghidupkan kembali perekonomian dan pasar sahamnya.
Baca juga: Calon Emiten IPO Menyusut, BEI Ungkap Penyebabnya
“Ini adalah periode yang sangat buruk bagi pasar. Masalahnya adalah perekonomian berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada yang saya kira enam bulan lalu,” ujar Kepala Strategi Pasar di Lazard Asset Management, Ron Temple, dikutip dari Bloomberg, Jumat (13/9).
“Semakin lama pemerintah menolak untuk memberikan stimulus permintaan yang besar, semakin lama kerusakan kepercayaan konsumen akan berlanjut, dan semakin sulit untuk menyelesaikannya,” imbuh Ron.
Meskipun begitu, bukan berarti para pemangku kebijakan tak mengambil tindakan untuk memperbaiki masalah ini. Tahun ini saja, dana negara diperkirakan telah membeli dana yang diperdagangkan di bursa senilai sekitar USD66 miliar untuk menopang saham hingga pertengahan Agustus.
Pembatasan telah diperketat dari sisi perdagangan kuantitas dan penjualan pendek dalam upaya mengurangi volatilitas, sementara perusahaan didesak untuk meningkatkan pembelian kembali dan pembayaran dividen. Bahkan, demi mengakselerasi pertumbuhan pasar modal, di bulan Februari kemarin, Tiongkok mengganti kepala regulator sekuritasnya yang mengejutkan banyak pihak.
Namun bagi investor, langkah-langkah tersebut kurang memuaskan. Dan Tiongkok tampaknya tidak bersedia mengambil jalur ekonomi lain yang akan memberdayakan dunia usaha. Risikonya adalah pasar saham akan terjebak dalam ketidakpastian karena Tiongkok memasuki era pertumbuhan yang lambat, tidak memiliki kekuatan seperti pasar negara berkembang dan stabilitas negara maju.
Berlawanan dengan Kinerja Global
Kinerja pasar modal Tiongkok yang buruk sangat kontras dengan kenaikan saham-saham global tahun ini, sehingga memperkuat skeptisisme investor terhadap visi Xi terkait ekonomi Tiongkok.
CSI 300 kini mendekati level yang terlihat pada awal tahun 2019, sedangkan pasar saham di AS, Jepang, dan India meningkat sekitar dua kali lipat. Meningkatnya kendali negara atas bisnis swasta dan meningkatnya keretakan perdagangan ketika Tiongkok berupaya mencapai swasembada industri adalah beberapa penyebab mendasar yang membuat saham-saham negara tersebut tidak disukai banyak orang.
Secara keseluruhan, sekitar USD6,5 triliun telah pergi dari nilai pasar saham Tiongkok dan Hong Kong sejak puncaknya dicapai pada tahun 2021. Nilai tersebut hampir sama dengan ukuran pasar ekuitas Jepang.
Pada hari Selasa (10/9), indeks CSI 300 turun sebanyak 0,7 persen sebelum pulih dan berakhir 0,1% lebih tinggi karena data menunjukkan ekspor meningkat secara tak terduga di bulan Agustus. Indeks tersebut turun hampir 4 persen pada September setelah penurunan empat bulan berturut-turut.
Meskipun ada beberapa peningkatan selama beberapa tahun terakhir, sebagian besar telah gagal dalam hitungan minggu karena kenyataan ekonomi yang suram. Ada proyeksi bahwa segala sesuatunya akan berbeda tahun ini karena harga acuan Tiongkok meningkat dari bulan Februari hingga pertengahan Mei.
Namun, harapan itu sepertinya tak terwujud, karena pelemahan ekonomi domestik dan pendapatan masyarakat masih terus berlanjut.
Berdasarkan data Bloomberg Intelligence, laba per saham untuk MSCI China Index turun 4,5 persen dari tahun sebelumnya pada kuartal kedua, menjadikannya kinerja terburuk selama lima kuartal.
“Investor Tiongkok dan Hong Kong yang saya kenal sangat kecewa. Mereka mengurangi eksposur mereka yang sudah rendah, merasa putus asa,” ucap Direktur Eksekutif UOB Kay Hian Hong Kong, Steven Leung.
“Likuiditas pemerintah yang bersifat pelonggaran kuantitatif adalah satu-satunya jalan keluar,” tambahnya.
Data ekonomi terbaru yang dirilis dari Tiongkok telah meningkatkan kekhawatiran tersebut. Deflasi yang terjadi di Tiongkok sejak tahun lalu menunjukkan tanda-tanda peningkatan, dengan ekspektasi bahwa ukuran harga perekonomian yang lebih luas yang dikenal sebagai deflator produk domestik bruto (PDB) kemungkinan akan memperpanjang penurunan yang terjadi selama lima kuartal hingga tahun 2025.
Bahayanya adalah deflasi dapat semakin besar dengan mendorong rumah tangga mengurangi pengeluaran, atau menunda pembelian karena mereka memperkirakan harga akan semakin turun. Di lain sisi, pendapatan perusahaan akan menurun, sehingga menyebabkan pemotongan gaji dan PHK lebih lanjut.
Baca juga: Kinerja Positif, Mirae Asset Sekuritas Rekomendasikan 2 Saham Bank Jumbo Ini
Pertumbuhan Tak Sampai 5 Persen
Banyak analis Wall Street memperkirakan Tiongkok mungkin akan gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen di tahun ini. Meskipun hal itu meresahkan Beijing, para pemangku kebijakan tampaknya berada dalam kesulitan.
Bank Sentral Tiongkok (PBOC) mewaspadai pemotongan suku bunga secara agresif dan semakin memperlebar kesenjangan dengan suku bunga AS, yang akan menambah tekanan depresiasi pada yuan.
Fokus Presiden Xi pada kualitas pertumbuhan juga membuat para pejabat Tiongkok menunda langkah stimulus agresif. Setelah upaya deleveraging untuk mengempiskan gelembung properti yang menyebabkan krisis saat ini dan sejumlah kegagalan pembayaran (default) di kalangan pengembang, pihak berwenang enggan mengubah taktik secara drastis agar tidak menimbulkan leverage yang tidak diinginkan.
“Pasar sedang mencari dorongan kebijakan, namun kebijakan tersebut dilakukan dengan kecepatan yang sedikit demi sedikit. Ini seperti memberikan pasien bantuan hidup tanpa melakukan operasi yang sangat dibutuhkan,” tutur Hao Hong selaku Kepala Ekonom di Grow Investment Group.
“Untuk mengembalikan kepercayaan pada perekonomian, pemerintah harus menghentikan semua aktivitas yang mengganggu pasar, dan membiarkan pasar dan masyarakat melakukan tugasnya,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja