Jakarta – Sampai pekan kedua Maret 2024, bank-bank digital sudah merilis laporan keuangan 2023 (full year). Tercatat, dari 11 bank digital, sebanyak 7 bank berhasil meraih laba positif, sementara hanya 4 bank yang mencatatkan kerugian. Artinya, mayoritas bank digital sudah bisa memetik cuan. Namun, ada juga anomali yang patut diwaspadai.
Ketujuh bank digital yang berhasil meraih cuan adalah AlloBank yang berhasil menangguk laba bersih Rp444,57 miliar, Seabank Rp241,47 miliar, Amar Bank Rp214,59 miliar, Krombank Rp125,47 miliar, Bank Jago Rp72,36 miliar, BCA Digital Rp46,05 miliar, dan Bank Raya Rp24,35 miliar. Sementara, empat bank yang masih amsiong adalah BNC yang menangguk rugi Rp573,18miliar, Superbank -Rp394,54 miliar, Aladin -Rp179,76 miliar, dan Bank Jasa Jakarta -Rp46,50 miliar).
Yang menarik dan perlu dicermati adalah besarnya penurunan nilai aset keuangan (impairment) pada beberapa bank digital. Seperti Seabank yang mencatatkan impairment loss 16,60 persen, BNC sebanyak 12,69 persen, dan Amar Bank 11,34 persen. Impairment ini patut diwaspadai karena bisa menggerus laba bersih bank. Seperti yang terjadi pada Seabank. Meski berhasil meraih laba bersih Rp241 miliar atau terbesar kedua di antara 11 bank digital di Indonesia, sejatinya laba bersih Seabank tersebut turun hingga 10 persen dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya.
Penurunan laba bersih Seabank pada 2023 ini bisa dibilang sebuah anomali. Bank yang memiliki ketergantungan sangat tinggi pada ekosistem Shopee ini membukukan pertumbuhan kredit sebesar 12,56 perssen menjadi Rp17,8 triliun. Pendapatan bunga bersihnya pun melonjak 53 persen menjadi 5,78 Triliun. Tetapi, laba bersihnya justru turun 10 persen.
Coba bandingkan dengan AlloBank, bank digital milik CT Corp, atau Bank Jago. Kredit AlloBank hanya tumbuh 2,50% persen dengan bunga bersih naik 65 persen, tapi berhasil mendongkrak laba bersih hingga 64 persen. Bank Jago yang kreditnya naik 38,1 persen dengan bunga bersih naik 15,7 persen, laba bersihnya bisa terbang hingga 354 persen! Ada apa dengan Seabank?
Jika menelisik lebih dalam laporan keuangannya, model bisnis yang digeluti Seabank patut diduga menjadi faktor yang menyebabkan pundi-pundi pendapatan hanya tersisa tipis akibat tingginya beban operasional. Seabank terafiliasi dengan e-commerce Shopee (PT Shopee International Indonesia) dan SPaylater (PT Commerce Finance). Ekosistem Sea di Indonesia juga didukung SPinjam (PT Lentera Dana Nusantara) dan ShopeePay (PT Airpay International Indonesia).
Seabank menyalurkan pinjaman baik ke pembeli maupun ke penjual di dalam platform e-commerce melalui SPaylater dan SPinjam. SPaylater memiliki izin multifinance sedangkan SPinjam mengantongi izin sebagai P2P Lending.
Ketergantungan Seabank pada ekosistem Shopee menciptakan risiko tersendiri. Hal tersebut tercermin dari penurunan nilai aset keuangan (impairment) pada pos beban operasional. Seabank mencatat Rp585,62 miliar, paling tinggi dibandingkan bank digital lainnya. Sementara itu, AlloBank yang sebagian besar kreditnya disalurkan ke korporasi, hanya mencetak impairment Rp2,5 miliar.
Beban impairment yang tinggi secara langsung akan menggerus pendapatan bunga bersih dan pada akhirnya berdampak pada perolehan laba bersih.
Seiring dengan umur pinjaman, beban impairment akan bergerak menyesuaikan dengan kualitas kredit yang disalurkan. Apabila beban impairment terus naik, kualitas kredit yang disalurkan kemungkinan berkualitas rendah. Pasalnya, bank harus menyisihkan pencadangan untuk portofolio kredit yang mengalami keterlambatan pembayaran berlarut-larut.
Di 2023, rasio rata-rata impairment terhadap rata-rata pinjaman Seabank tercatat paling tinggi, yaitu sebesar 16,60 persen. Tertinggi kedua adalah Bank Neo Commerce (BNC) sebesar 12,69 persen. Sementara Amar Bank sebesar 11,3 persen. Bandingkan dengan bank digital lain yang bahkan di bawah 1 persen. Seperti Aladin (0,21 persen), AlloBank (0,2 persen), Bank Raya (0,53 persen), Superbank (0,90 persen), dan BCA Digital (0,92 persen).
Dengan beban impairment yang besar, pendapatan bunga bersih Seabank tergerus signifikan. Di akhir 2023, dengan total pendapatan bunga bersih Rp5,73 triliun, beban impairment Seabank tercatat Rp4,45 triliun. Pendapatan bunga bersih memang naik 53 persen, tetapi beban impairment meroket 61 persen. Alhasil, laba bersih Seabank malah turun -10 persen menjadi Rp241 miliar.
Untuk mengatasi persoalan ini, Seabank tampaknya harus lebih ekspansif guna mendulang pendapatan bunga sehingga dapat menambal beban impairment. Akan tetapi, risiko semakin besar mengingat penyaluran pinjaman Seabank justru mulai melambat. Sebagai pembanding, sepanjang 2023, outstanding pinjaman naik 12,56 persen menjadi Rp17,88 triliun. Di 2022, pinjaman tumbuh 160 persen dan di 2021 melesat 218 persen.
Terdapat dua alasan mengapa model bisnis Seabank berisiko tinggi karena hanya mengandalkan ekosistem Shopee. Pertama, sampai saat ini lini bisnis e-commerce Sea Limited, yaitu Shopee belum mencetak keuntungan. Sepanjang 2023, Sea Limited mencatat pendapatan e-commerce sebanyak USD9 miliar dengan Gross Merchandising Value (GMV) USD78,5 miliar. Dengan terus membakar uang, keberlanjutan bisnis e-commerce menjadi pertanyaan, sampai kapan model ini bakal bertahan?
Kedua, bisnis fintech lending menghadapi tantangan berat dari sisi regulasi, termasuk isu perlindungan konsumen. Secara khusus OJK telah menerbitkan POJK 77 Tahun 2022 dan Surat Edaran No. 19/SEOJK.06/2023 yang mengatur Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi lebih ketat. Pengaturan itu antara lain pembatasan jumlah pinjaman, bunga atau margin hasil, dan mekanisme penagihan.
Di sisi lain, model bisnis fintech juga belum dibarengi praktik perlindungan konsumen yang memadai. OJK mencatat, dalam per Februari 2024 jumlah pengaduan konsumen dari sektor fintech mencapai 7.183 atau 26 persen terhadap total pengaduan sebanyak 27.283.
Secara khusus, OJK tengah menelisik pengaduan layanan Spaylater di mana tahun lalu mencapai 406 pengaduan. Jumlah pengaduan tersebut setara 7,15 persen dari total pengaduan di sektor fintech.Sebagian besar pengaduan berupa cara penagihan yang tidak patut seperti penggunaan kata kasar, tidak sopan, dan intimidasi terhadap konsumen. (*) Darto Wiryosukarto