Keuangan

Kewenangan OJK dalam Penyidikan Pidana Sektor Keuangan Dinilai Kurang Tepat

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah mengalami perubahan yang signifikan diantaranya pada aturan nomor 20 dalam Pasal 48B ayat (1).

Dalam pasal tersebut, OJK berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan. Sebelum dimulainya penyidikan dilakukan penyelidikan untuk pihak yang diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan dapat melakukan permohonan untuk penyelesaian pelanggaran hukum yang dilakukannya.

Terhadap permohonan tersebut OJK melakukan penilaian dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran. Penilaian tersebut mempertimbangkan minimal ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana, nilai transaksi dan/atau kerugian atas pelanggaran dan terakhir mempertimbangkan dampak terhadap sektor jasa keuangan.

Apabila OJK menyetujui permohonan maka pihak yang melakukan tindak pidana wajib melaksanakan kesepakatan dengan OJK termasuk membayar ganti rugi, jika ganti rugi sudah terpenuhi maka OJK akan menghentikan penyelidikan.

Ketua Tim Advokasi SP NIBA AJB Bumiputera 1912, F. Ghulam Naja, melihat UU PPSK tersebut menunjukan bahwa pendekatan yang akan dilakukan oleh OJK terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan adalah tindakan administratif atau yang biasa dikenal dengan restorative justice.

“Padahal tindak pidana di sektor jasa keuangan mempunyai potensi kejahatan yang luar biasa, oleh karenanya pendekatan restorative justice harus ditempatkan dan diimplementasikan sesuai porsinya dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku,” ucap Ghulam dalam risetnya dikutip, 3 Januari 2023.

Sedangkan, jenis kejahatan yang terjadi di sektor jasa keuangan merupakan white collar crime yang dapat merugikan masyarakat dengan nilai material yang besar. Sehingga, implementasi restorative justice menjadi keliru jika sampai membebaskan pelaku dari sanksi pidana sehingga tidak berdampak pada tujuan penegakan hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku.

“Penyusun undang-undang harusnya memahami betul bagaimana implementasi restorative justice dalam UU P2SK. Jika bercermin pada implementasi di Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) konsep restorative justice hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan,” imbuhnya.

Sehingga, penerapan restorative justice dalam UU P2SK tidak tepat untuk pelaku kejahatan white collar crime yang menimbulkan kerugian dengan nilai material yang besar serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan. (*)

Editor: Rezkiana Nisaputra

Khoirifa Argisa Putri

Recent Posts

Berpotensi Dipercepat, LPS Siap Jalankan Program Penjaminan Polis pada 2027

Poin Penting LPS membuka peluang percepatan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) dari mandat 2028 menjadi… Read More

8 hours ago

Program Penjaminan Polis Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi

Berlakunya Program Penjaminan Polis (PPP) yang telah menjadi mandat ke LPS sesuai UU No. 4… Read More

9 hours ago

Promo Berlipat Cicilan Makin Hemat dari BAF di Serba Untung 12.12

Poin Penting BAF gelar program Serba Untung 12.12 dengan promo besar seperti diskon cicilan, cashback,… Read More

12 hours ago

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Poin Penting BNI berpartisipasi dalam NFHE 2025 untuk memperkuat literasi keuangan dan mendorong kesehatan finansial… Read More

13 hours ago

wondr BrightUp Cup 2025 Digelar, BNI Perluas Dukungan bagi Ekosistem Olahraga Nasional

Poin Penting BNI menggelar wondr BrightUp Cup 2025 sebagai ajang sportainment yang menggabungkan ekshibisi olahraga… Read More

13 hours ago

JBS Perkasa dan REI Jalin Kerja Sama Dukung Program 3 Juta Rumah

Poin Penting JBS Perkasa dan REI resmi bekerja sama dalam penyediaan pintu baja Fortress untuk… Read More

15 hours ago