Jakarta – Depresiasi nilai tukar rupiah harus disikapi hati-hati oleh para bankir dalam mengucurkan kredit. Menurut Haryanto T. Budiman, Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (BI), bank-bank harus memastikan bahwa pinjamannya kepada nasabah yang tereksposur denominasi US$ diberikan secara selektif dan hanya diberikan kepada nasabah yang pendapatannya juga dalam US$.
“Bank juga sebaiknya tidak memberikan pinjaman dalam US$ kepada perusahaan yang revenue-nya dalam rupiah, karena ada risiko currency mismatch. Dan kasih pinjaman dalam US$ ke perusahaan yang revenue-nya dalam US$, itu pun tetap harus selektif,” ujar Haryanto yang juga menjadi Direktur Bank Central Asia ini, seperti dikutip Majalah Infobank Nomor 553 Mei 2024.
Haryanto melanjutkan, pengucuran kredit kepada perusahaan yang revenue-nya dalam US$ pun tetap harus secara selektif karena keterbatasan likuisitas US$.
“Meskipun secara theory okay okay aja memberi pinjaman dalam US$ ke perusahaan yang revenue-nya dalam US$, tapi ada keterbatasan dari likuiditas US$, jadi tetap bank harus selective,” imbuhnya.
Menurut data Biro Riset Infobank, tidak hanya likuiditas valas yang terbatas, likuiditas rupiah pun mengetat. Ketika pada 2023 kredit bank umum tumbuh 10,61% menjadi Rp7.186,93 triliun, dana pihak ketiga (DPK) hanya naik 3,73% menjadi Rp8,457,93 triliun. Per Maret 2024, kredit perbankan masih bisa meningkat 12,40%, namun DPK hanya tumbuh 7,44%.
Seperti apa dampaknya melelehnya nilai tukar rupiah bagi dunia usaha dan industri perbankan? Akankah bank-bank menaikkan suku bunga kreditnya setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25% akhir April lalu? Apa yang harus dilakukan para bankir menghadapi ketidakpastian global yang terus berlanjut? Seperti apa peta pelayanan prima bank-bank di tengah melelehnya nilai tukar rupiah menurut hasil survei Banking Service Excellence Monitor 2024? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 553 Mei 2024! (KM)