oleh Paul Sutaryono
BANK BJB akan segera merger dengan Bank Banten. Bagaimana sejarah kedua bank pembangunan daerah (BPD) itu? Bank BJB yang memiliki visi “Menjadi 10 Bank Terbesar dan Berkinerja Baik di Indonesia” berdiri pada 20 Mei 1961. Bank itu dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat 38,18%, Pemda Provinsi Banten 5,29%, Pemda Kota-Kabupaten Se-Jawa Barat 24,03%, Pemda Kota-Kabupaten Se-Banten 7,87%, dan publik 24,64%.
Sementara, Bank Banten dengan visi “Menjadi Bank yang Terbaik dan Mitra Terpercaya” berawal dari PT Executive International Bank yang berdiri pada 11 September 1992. Bank tersebut berubah nama menjadi PT Bank Eksekutif Internasional pada 16 Januari 1996 dan menjadi PT Bank Pundi Indonesia pada 30 Juni 2010. Lalu, bank tersebut berubah nama lagi dan beroperasi sebagai PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk pada 29 Juli 2016 ketika diakuisisi Pemda Provinsi Banten melalui PT Banten Global Development.
Sejauh mana kinerja mereka? Bank BJB mampu meningkatkan laba bersih 0,65% dari Rp412,90 miliar pada Maret 2019 menjadi Rp415,57 miliar per Maret 2020. Sebaliknya, Bank Banten justru mengalami kerugian Rp31,87 miliar per Maret 2020.
Sudah barang tentu, penurunan laba bersih Bank BJB itu menekan imbal hasil total aset (return on assets/ROA) dari 1,91% menjadi 1,80%. Namun, ROA itu masih di atas ambang batas 1,5%. Artinya, kualitas aset (assets quality) Bank BJB masih unggul. Demikian pula dengan imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) yang turun dari 17,37% menjadi 16,20%, tapi masih jauh lebih tinggi daripada ambang batas 12%. Itu berarti, ekuitas masih jago.
Sementara itu, ROA dan ROE Bank Banten tampak negatif, masing-masing minus 2,08% dan minus 99,87%. Meski dilanda badai Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Bank Banten tetap berupaya keras untuk melakukan penghematan. Hal itu tampak dari tingkat efisiensi (rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional atau BO/PO) yang membaik dari 149,4% per Maret 2019 menjadi 132,1% pada Maret 2020, walaupun masih jauh di atas ambang batas 70%-80%. Coba bandingkan dengan BO/PO Bank BJB yang mencapai 83,16%, yang berarti jauh lebih efisien daripada Bank Banten.
Margin bunga bersih (net interest margin/NIM) Bank Banten juga menipis dari 0,1% menjadi 0,8%. Rasio itu jauh lebih rendah daripada NIM Bank BJB yang tercatat 5,54%, bahkan di atas rata-rata industri 4,96%. Sebagai informasi, NIM merupakan pilar utama dalam membangun pendapatan perbankan dari sisi kredit yang menjadi bisnis utama (core business) bank.
Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) Bank Banten pun mencapai 5,04%, di atas ambang batas 5%. Sebaliknya, NPL Bank BJB hanya 1,65%. Komposisi pemegang saham Bank Banten adalah PT Banten Global Development 51% (di PT itu, Pemda Banten menjadi pemegang saham pengendali dengan memiliki saham 99,94%) dan publik 49%. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Bank Banten selama ini kurang memuaskan.
Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menitahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk dapat memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan konsolidasi. OJK pun telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 18/POJK/03/2020 tentang Perintah Tertulis Penanganan Masalah Bank.
Selama ini beberapa bank sudah melakukan merger sebagai langkah konsolidasi perbankan. Bank Dinar merger dengan Bank Oke, sedangkan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC Indonesia).
Kemudian, menyusul Bank Danamon yang merger dengan Bank Nusantara Parahyangan serta Bank Agris dengan Bank Mitraniaga. Paling anyar, Bangkok Bank merangkul PermataBank. Sayangnya, merger itu dilakukan hanya untuk memenuhi aturan kepemilikan tunggal (single present policy/SPP).
Dengan demikian, jurus andalan apa saja bagi Bank BJB untuk menyelamatkan Bank Banten? Satu, mengapa bank melakukan merger? Terdapat beberapa alasan mengapa bank harus melakukan merger.
Alasan pertama, skala ekonomi (economies of scale). Model tersebut merupakan sasaran alamiah dari merger horizontal seperti ketika dulu bank pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) meluncurkan layanan ATM Bersama. Dengan demikian, nasabah Bank Negara Indonesia (BNI) dapat mengambil uang di tiga ATM bank pemerintah lainnya, seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Tabungan Negara (BTN), begitu pula sebaliknya.
Alasan kedua, integrasi vertikal ekonomi (economies of vertical integration). Alasan ini biasanya dilakukan perusahaan besar yang ingin mengawasi seoptimal mungkin proses produksi. Hal ini dilaksanakan dengan mendekati sumber bahan mentah dan pelanggan utamanya (prime customers). Alasan ketiga, supaya mampu mengombinasikan sumber daya pelengkap (complementary resources).
Alasan keempat yang merupakan alasan pamungkas, merger dianggap sebagai penggunaan dana yang berlebih.
Pendapat ini mengatakan bahwa bisa saja terjadi pada suatu perusahaan yang memiliki dana lebih, tetapi dana itu tidak dibagikan kepada pemegang saham (shareholders). Misalnya, meningkatkan pembayaran dividen atau melakukan pembelian sahamnya sendiri (stock repurchases). Sebaliknya, mereka justru melihat kesempatan investasi yang menguntungkan dengan melakukan merger yang dibiayai dengan dana tunai (cash). Langkah ini merupakan salah satu cara untuk menyebarkan (redeploy) modal mereka.
Dua, lantas apa tujuan merger antara Bank BJB dan Bank Banten? Alasan pertama (merger horizontal) dan ketiga. Dengan bahasa lebih bening, merger akan melahirkan sinergi yang akan mengerek tingkat efisensi dengan memanfaatkan banyaknya kantor cabang dan ATM Bank BJB.
Dalam beberapa hal, bank kecil justru mempunyai produk yang unik – katakanlah kredit mikro – tetapi hanya memiliki sedikit kantor sebagai saluran distribusi. Akibatnya, pengembangan dan pemasaran produknya menjadi kurang bernas. Maka, dengan merger, kekurangan itu akan tertutupi oleh bank yang lebih besar dengan infrastruktur yang memadai. Kombinasi ini akan menciptakan sinergi yang jempol.
Tiga, sejatinya Bank BJB mempunyai misi khusus, yakni menyelamatkan Bank Banten yang sedang “demam”. Mengapa?Karena, Pemda Provinsi Banten dan Pemda Kota-Kabupaten Se-Banten masing-masing memiliki saham Bank BJB sebesar 5,29% dan 7,87%.
Empat, merger sudah pasti akan meningkatkan daya saing bank pascamerger. Total aset menjadi lebih perkasa, yakni Bank BJB Rp116,80 triliun per Maret 2020 sebagai bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 ditambah total aset Bank Banten sebesar Rp8,11 triliun sebagai BUKU 1. Alhasil, total aset bank pascamerger menjadi Rp124,91 triliun sebagai BUKU 3 yang lebih kokoh untuk menghadapi persaingan yang makin sengit.
Lima, OJK menaikkan modal inti minimum bank dari Rp1 triliun menjadi Rp3 triliun yang efektif per 17 Maret 2020. Kewajiban itu dapat dipenuhi secara bertahap selama tiga tahun: modal inti menjadi Rp1 triliun, Rp2 triliun, dan Rp3 triliun pada 2020, 2021, dan 2022. BPD dapat memenuhi kewajiban itu paling lambat pada 2024. Oleh karena itu, dengan merger, Bank Banten akan terbebas dari aturan itu. Ini menjadi poin positif tersendiri.
Enam, Bank Banten tak hanya membutuhkan suntikan likuiditas, tetapi juga manajemen puncak yang berintegritas tinggi, profesional, dan berpengalaman. Karena, bank merupakan bisnis yang amat diatur dan sarat dengan potensi risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas.
Tujuh, Bank BJB harus bekerja lebih keras untuk mengerek kualitas kredit Bank Banten dengan NPL 5,04%. Itu menjadi pekerjaan rumah yang membutuhkan dana, pikiran, dan tenaga yang tak sedikit. Bahkan, semua itu bakal menyedot likuiditas yang cukup besar. Maka, Bank BJB pun perlu merevitalisasi penerapan manajemen risiko.
Delapan, saatnya BPD lebih profesional sehingga menjadi bank pembangunan bagi daerahnya. Karena itu, BPD perlu menjadi bank terbuka dengan menerbitkan saham perdana di lantai bursa (initial public offering/IPO) dalam menambah modal kerja. Alhasil, BPD tak begitu terkungkung pemda dalam permodalan seperti selama ini. Kita tengok bagaimana BPD di Jepang dalam menyambut bola bisnis dengan membuka kantor di ibu kota. Hal itu bertujuan untuk sanggup menangkap bola bisnis lebih besar dengan cepat.
Sembilan, upaya menyatukan sistem akuntansi yang berbeda sungguh makan waktu. Salah satu alternatif solusinya adalah dengan menjalankan dua sistem secara bersamaan (tandem) sebelum sistem menjadi satu.
Demikian pula dalam menggabungkan dua budaya kerja yang amat berlainan. Namun, mengingat keduanya BPD, rasanya tak perlu waktu lama, kecuali dalam sosialisasi dan internalisasi. Mengapa? Karena, budaya kerja harus terwujud dalam perilaku semua pegawai, dari pegawai terbawah hingga manajemen puncak. Berbekal aneka jurus andalan tersebut, bank pascamerger bakal lebih perkasa dalam bersaing! (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, pengamat perbankan, dan mantan Assistant Vice President BNI