Jakarta – Otoritas Keuangan telah mengumumkan daftar tambahan jumlah bank berdampak sistemik dari sebelumnya berjumlah 11 bank menjadi 15 bank. Bank berdampak sistemik memiliki kewajiban membuat rencana aksi (recovery plan) sebagai bentuk antisipasi krisis keuangan.
Menurut SVP Credit Portofolio Risk Bank Mandiri Setiyo Wibowo dalam Seminar “Implementasi UU PPKSK: Bank Sistemik Yang Prudent dan Sehat” di Jakarta, Jumat, 25 Mei 2018, bahwa kondisi perbankan nasional saat ini jauh berbeda bila dibandingkan saat krisis 1998.
Kondisi perbankan yang jauh lebih kuat, tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank yang cukup tinggi yakni 22,5 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) yang masih aman yaitu 21,2 persen pada Maret 2018. Kredit bermasalah (NPL) juga tercatat 2,75 persen (gross) atau 1,25 persen (net).
Jika saat krisis 1998 perbankan belum memiliki mekanisme dalam menghadapi krisis keuangan, kata dia, saat ini bank-bank besar sudah lebih siap dan memiliki mekanisme untuk menghadapi krisis. Di manajemen perbankan sendiri saat ini sudah memiliki tim khusus untuk menangani persoalan keuangan itu.
“Kalau dibank namanya ada task force atau tim manajemen krisis. Bank harus siap menghadapi krisis, karena krisis datangnya suka tiba-tiba. Jadi bank harus siap menyikapi situasi krisis, jangan sampai gak siap,” ujarnya.
Kendati demikian, dirinya berharap perekonomian nasional jangan sampe mengalami krisis. Kondisi krisis bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Terlebih, situasi global semakin dinamis, perubahan zaman juga terus terjadi, maka perbankan harus memilki rencana dan strategi.
Baca juga: Bank Berdampak Sistemik Bertambah Jadi 15 Bank
“Jadi dalam konteks menghadapi krisis, recovery plan ini adalah langkah pencegahan sebelum bank itu terjadi kegagalan dalam suasana krisis atau dianggap sebagai bank gagal. Disitu ada skema bail in, jadi bank meng-cover dirinya sendiri,” ucapnya.
Dalam skema bail in, perbankan harus memperjelas skenario penanganan permasalahan bank sistemik dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara. Nantinya, rencana aksi iniharus dilaporkan secara berkala kepada regulator.
Kewajiban tersebut tertuang dalam peraturan POJK Nomor 14/POJK.03/2017 tentang Rencana Aksi bagi Bank Sistemik. Dalam regulasi tersebut, bank berdampak sistemik wajib menyusun pedoman rencana pemulihan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Dalam prinsip GCG tersebut, sekurang-kurangnya memuat gambaran umum mengenai bank, seperti kondisi bank, lini bisnis, struktur kelompok usaha bank, dan analisis skenario dampak perubahan kondisi bank.
Bank sistemik juga harus melakukan evaluasi dan pengujian terhadap rencana pemulihan secara berkala paling sedikit satu kali dalam setahun atau berdasarkan kondisi tertentu yang berpengaruh kepada bank seperti perubahan kondisi eksternal. Bank juga wajib melakukan pengkinian rencana pemulihan (updating) yang disampaikan ke OJK.
Bagi Bank Sistemik yang terlambat memenuhi kewajiban penyampaian Rencana Aksi untuk pertama kali, pengkinian Rencana Aksi dan/atau perbaikan Rencana Aksi sebagaimana dimaksud Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1 juta per hari keterlambatan atau paling banyak sebesar Rp100 juta. (*)