Jakarta – Total kerugian dari investasi bodong di Indonesia sepanjang 2022 mencapai lebih dari Rp200 triliun. Ini tentunya memprihatinkan bagi Indonesia. Head of Deposit & Wealth Management UOB Indonesia, Vera Margaret, menyampaikan, hal itu masih bisa terjadi karena tingkat literasi keuangan pada masyarakat Indonesia masih sangat minim.
“Di Indonesia itu tingkat inklusi finansialnya lebih tinggi ketimbang literasi keuangannya. Inilah yang menyebabkan masyarakat kita, lagi dan lagi, menjadi korban investasi bodong,” ujar Vera, pada acara Literasi Media bertajuk Preserve and Grow Your Wealth Through Risk-First Approach di Jakarta, Kamis, 30 Maret 2023.
Ia menunjukkan data OJK tahun 2022, dimana tingkat inklusi keuangan di Indonesia meningkat 5,19%, sedangkan tingkat literasi keuangannya baru 4,11%. Menurutnya, tingkat literasi keuangan seharusnya mendahului tingkat inklusi keuangan.
“Sebelum mulai investasi, yuk kita pahami dahulu tingkat risikonya. Bukan hanya risiko pada diri sendiri, namun juga risiko terkait produk investasi yang kita mau masuki. Jadi pelajari dulu. Termasuk untuk apa saya berinvestasi. Untuk biaya sekolah anak, untuk dana pensiun, dana kebutuhan sehari-hari. Ada jangka pendek, menengah, dan panjang. Tujuan investasi akan memengaruhi produk apa yang paling tepat untuk nasabah sesuai dengan profil risikonya. Itu yang namanya risk first approach,” jelas Vera.
Ia menjelaskan, berdasarkan data OJK, inklusi keuangan di Indonesia tercatat kurang dari 2,5 juta masyarakat Indonesia yang punya SID di pasar modal nasional pada 2019. Lalu, per November 2022, jumlah itu meningkat menjadi 10 juta, naik empat kali lipat dari tahun 2019.
“Di saat tingkat inklusi keuangan terus naik berkali-kali lipat, tingkat literasi keuangannya malah terus berkurang. Berarti ada yang salah ya. Jadi, tingkat inklusi keuangan itu harus berjalan seiringan dengan tingkat literasi keuangan, bukan kebalikannya. Itulah sebabnya investasi bodong masih terus memakan korban,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja