Jakarta – Seorang miliarder muda bernama Tommy Merlyn pernah begitu penasaran mengapa tumpukan harta miliknya tidak berhasil memikat Laurel Lance, wanita idamannya. “Bagaimana caranya meluluhkan hati seorang wanita?” tanya Tommy kepada gadis remaja bernama Thea Dearden Queen, yang merupakan adik dari sahabat karibnya, Oliver Queen. “Temukan dan pahami apa yang menjadi ‘hal besar’ baginya, lalu jadikan hal itu menjadi ‘hal besar’ bagimu juga,” jawab Thea, dengan singkat dan bijak.
Petikan dialog di atas merupakan sebuah fragmen di salah satu episode dari Arrow, serial yang tayang pada tahun 2012 lalu di Amerika Serikat lewat channel The CW Television Network. Tulisan ini, tentu saja, tidak sedang akan membahas sinopsis atau mereview serial yang diangkat dari kisah pahlawan super DC Comics, Green Arrow, tersebut. Sebaliknya, tulisan ini ingin membahas terkait isu investasi ilegal yang belakangan tengah marak dibincangkan, diberitakan, dan menjadi pusat perhatian.
Lalu apa hubungannya praktik investasi ilegal di masyarakat dengan kisah dua tokoh dalam serial Arrow di atas?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa nilai kerugian masyarakat akibat investasi ilegal di Indonesia dalam 10 tahun terakhir mencapai Rp117,4 triliun. Rekor catatan tertinggi terjadi pada tahun 2011, di mana total nilai kerugian dalam setahun mencapai Rp68,62 triliun, dan lalu turun drastis menjadi ‘hanya’ Rp7,92 triliun pada tahun tahun 2012.
Pihak OJK mengklaim penurunan signifikan tersebut terjadi berkat adanya penanganan dari Satgas Waspada Investasi (SWI). Dengan keberadaan SWI, OJK mengklaim tren jumlah kasus investasi ilegal dan juga nilai kerugiannya cenderung menurun signifikan.
Namun klaim tersebut pada dasarnya terpatahkan bila menilik data kasus investasi ilegal dari segi jumlah pelakunya. Masih berdasarkan data OJK, dalam lima tahun terakhir SWI tecatat telah menangani hingga 1.053 entitas pelaku investasi ilegal. Rinciannya meliputi 79 entitas investasi ilegal pada tahun 2017, lalu 106 entitas pada tahun 2028, meningkat tajam menjadi 442 entitas pada 2019, dan sedikit turun menjadi 347 entitas pada tahun 2020.
Terakhir, pada tahun 2021 lalu ada 79 entitas investasi ilegal yang ditangani oleh OJK. Data menunjukkan bahwa meski SWI telah beroperasi, jumlah pelaku justru mengalami tren peningkatan, bahkan melonjak drastis pada tahun 2019, bertahun-tahun setelah SWI berdiri dan eksis.
Terbaru, masyarakat justru disuguhkan kasus investasi ilegal baru yang melibatkan sejumlah influenzer, di mana kerugian yang ditimbulkan mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Dua nama influenzer terkenal di jagad media sosial resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Paling gres, kasus serupa dengan kedok jenis investasi robot trading bernama Fahrenheit juga mulai diusut, dengan nilai kerugian fantastis, yaitu mencapai Rp5 triliun, hanya untuk satu kasus investasi ilegal saja.
“(Investasi robot trading Fahrenheit) Sudah kami hentikan sejak Desember 2021 itu, dan kami masukkan ke daftar investasi ilegal karena melakukan kegiatan trading tanpa ijin. Sudah kami umumkan juga ke masyarakat agar tidak diikuti,” ujar Ketua SWI, Tongam Lumban Tobing, kepada infobanknews, Senin (14/3).
Ganti Baju
Dengan melihat terjadinya kasus investasi ilegal yang terus berulang tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Padahal, jika melihat modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku investasi ilegal ini, secara garis besar selalu nampak sama, yaitu memanfaatkan minimnya literasi dan pengetahuan masyarakat, lalu menyodori tawaran keuntungan yang demikian fantastis dan dengan janji yang menggiurkan, hingga berakhir pada raibnya dana investasi dari masyarakat.
“Ya memang namanya investasi bodong itu sudah ada sejak dulu, bahkan mungkin sejak jaman orang tua kita juga sudah ada. Dan sampai kapan pun juga pasti akan bermunculan, dengan modus yang juga selalu sama, yaitu menawarkan orang untuk bisa cepat kaya. Jadi skemanya selalu sama, ‘baju’nya saja yang berbeda,” ujar Pengamat Investasi, Teguh Hidayat, kepada media, awal bulan ini.
Menurut Teguh, ‘baju’ alias balutan praktik investasi ilegal ini akan selalu berganti mengikuti tren yang ada pada saat itu. Misalnya saja tawaran berinvestasi emas, properti, saham dan semacamnya, hingga jenis penawaran investasi kripto atau robot trading yang memang akhir-akhir ini tengah marak dipromosikan di masyarakat.
Sebagai gimmick untuk memperkuat rayuan berinvestasinya, digandeng lah sejumlah influenzer dan dikondisikan untuk kerap pamer kekayaan di postingan media sosial agar masyarakat terpukau dan lalu masuk dalam jebakannya.
“Seperti Binomo dan semacamnya itu, itu kan juga bajunya saja. Soal skema, semua dari dulu sampai sekaramh tetap sama, berjualan mimpi bisa cepat kaya kepada orang-orang yang minim literasi,” tutur Teguh.
‘Menjadi’ Korban
Dari penjelasan Teguh ini kemudian baru bisa dipetakan apa yang menjadi masalah mendasar dalam kasus investasi ilegal. Di satu sisi, kasus dapat terjadi selalu bermula dari kondisi minimnya literasi dan pengetahuan dari si calon korban untuk benar-benar memahami segala seluk-beluk berinvestasi.
Mereka ini biasanya hanya mau hasil instan tanpa mau repot untuk membaca, mencari tahu dan mencari informasi terhadap jenis investasi yang ditawarkan. Namun, di sisi yang lain, tindakan OJK hampir selalu berhenti pada mengumumkan daftar nama investasi mana saja yang ilegal/terdaftar dan mana saja yang ilegal. Bagaimana bisa OJK berupaya mencegah terjadinya sebuah kasus dengan mengandalkan sebuah pengumuman, sedangkan kasus itu sendiri bermula dari minimnya daya baca para korbannya?
Meminjam petuah bijak yang disampaikan Thea dalam prolog tulisan ini, dalam kasus investasi ilegal ini jelas OJK belum berhasil memahami dengan benar ‘hal besar’ yang dirasakan oleh para korban, apalagi menjadikan ‘hal besar’ itu sebagai concern utama juga bagi OJK.
Dalam hal ini, OJK bisa dianggap gagal bahkan di langkah awal untuk memahami karakteristik dan pola pikir para korban investasi ilegal, untuk selanjutnya mencari dan menemukan solusi untuk permasalahan ini.
“Intinya kalau Saya melihat, OJK dalam masalah (investasi ilegal) ini terlalu bersifat pasif dan menunggu. Padahal sebenarnya ada banyak yang bisa dilakukan. Misal soal influenzer yang sampai sekarang Saya lihat masih bebas beriklan atau memberikan saran investasi ke platform A, B, C dan sebagainya. Padahal kan nggak sembarang orang bisa memberikan guidance investasi. Jadi penasehat investasi itu ada ijin khususnya, jadi harusnya bisa ditertibkan. Tapi kan bisa kita lihat sampai sekarang masih bebas saja mereka (influenzer) memberikan advice investasi. Seperti ada pembiaran,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Laku Pandai
Termasuk juga soal permasalahan literasi, OJK pada dasarnya bukan kali ini saja berurusan dengan minimnya literasi masyarakat yang kemudian menimbulkan masalah.
Menilik jauh ke belakang, industri perbankan pernah dibuat pusing dengan minimnya literasi dan akses masyarakat bahkan terhadap layanan yang paling mendasar, seperti kepemilikan rekening tabungan atau layanan transaksi sehari-hari berupa tarik dan setor tunai.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2015 OJK melahirkan konsep Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif alias Laku Pandai.
Dengan memanfaatkan toko-toko kelontong di perkampungan, counter pulsa, warung makan dan bahkan ibu-ibu rumah tangga yang telah dikenal di daerah tersebut, OJK menggandeng mereka menjadi agen-agen untuk yempat menabung, membayar tagihan kredit dan sebagainya, tanpa perlu harus datang ke kantor cabang perbankan.
“(Laku Pandai) Ini tonggak sejarah bagi perbankan nasional. Kelak dalam 20 hingga 50 tahun ke depan, Saya yakin program ini akan kita ingat sebagai tonggak sejarah karena orang mau mengakses layanan perbankan tidak perlu lagi datang ke bank. Handphone kita jadikan buku tabungan sebagai alat transaksi. Ini benar-benar mengubah sejarah,” ujar Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk saat itu, Budi Gunadi Sadikin, yang kini telah menjabat sebagai Menteri Kesehatan.
Dan setelah hampir tujuh tahun beroperasi, perkembangan Laku Pandai terbukti sudah demikian luar biasa. Bahkan di tengah pandemi COVID19 di mana masyarakat disebut banyak mengurangi transaksi hariannya karena mobilitas yang terbatas, jumlah agen Laku Pandai justru meningkat signifikan.
“Dalam tiga bulan terakhir di 2021 saja, jumlah agen (Laku Pandai) sudah meningkat dari 1,24 juta di September menjadi 1,45 juta agen di Desember 2021,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat.
Secara sebaran, agen Laku Pandai juga tercatat telah teresar di 511 kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia. Bermula dari permasalahan minimnya literasi sekaligus akses masyarakat terhadap perbankan, Laku Pandai mampu tampil sebagai solusi tempat orang melakukan transaksi hariannya.
“Jadi orang mau menabung atau bahkan sekadar bertanya-tanya soal transaksi perbankan, tingagl datang saja ke agen-agen di warung, toko kelontong atau counter pulsa di dekat rumah. Beres,” tutur Teguh.
Bukan tidak mungkin OJK juga menerapkan pendekatan serupa untuk mengurai sengkarut permasalahan investasi ilegal.
Bila di Laku Pandai OJK menggandeng bank-bank untuk merekrut masyarakat sebagai agennya, dalam hal investasi ilegal OJK juga bisa menggandeng lembaga-lembaga investasi yang telah berijin untuk, misalnya, merekrut agen serupa sebagai kepanjangan tangan OJK dalam melakukan edukasi, menyebar informasi, hingga membantu segala teknis administrasi untuk memastikan bahwa aktivitas investasi yang dilakukan benar-benar resmi dan legal. Mengingat OJK tidak memiliki kantor-kantor cabang di daerah, agen-agen investasi ini bisa menjadi solusi agar eksistensi kehadiran OJK tetap dapat dirasakan masyarakat ke pelosok wilayah Indonesia.
Langkah serupa pada dasarnya juga telah dilakukan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menggandeng perusahaan-perusahaan sekuritas untuk menghadirkan Galeri Investasi, yaitu pusat informasi dan edukasi pasar modal yang didirikan di kampus-kampus perguruan tinggi.
Di Galeri Investasi, para mahasiswa dan juga masyarakat yang tertarik berinvestasi di pasar modal bisa bertanya-tanya tentang seluk-beluk aktivitas berinvestasi, mengetahui berbagai ketentuan yang berlaku di pasar modal, hingga mencoba simulasi perdagangan (trading) saham secara langsung dan real time. Dibangun sejak tahun 2000, hingga saat ini tercatat sudah ada 259 Galeri Investasi yang tersevar di seluruh wilayah Indonesia.
Ketimbang asyik bekerja sendiri dalam memutus mata rantai perkembangan investasi ilegal, sudah saatnya OJK menggandeng sebanyak-banyaknya pihak untuk turut menyebarluaskan informasi tentang investasi ke masyarakat secara lebih efektif, ketimbang hanya sekadar dipajang di web OJK dengan jumlah pembaca yang tentunya sangat minim dan terbatas.
Berandai-andai ke depan, setiap masyarakat yang ingin berinvestasi bisa datang ke warung makan di dekat rumahnya, atau ke toko kelontong di ujung gang untuk mengecek apakah aplikasi berinvestasinya legal dan terdaftar di OJK.
Si Agen Investasi bisa menjadi penjembatan untuk membantu melakukan pengecekan, bahkan turut membantu melakukan registrasinya bilamana diperlukan. Bila OJK bisa menjadikan masalah literasi perbankan sebagai masalah bersama, termasuk juga lembaga-lembaga perbankan, pendekatan serupa harusnya bisa juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga investasi yang kini banyak bermunculan. Tinggal pertanyaannya, apakah OJK mau melakukannya, atau lebih menikmati pekerjaannya dalam kesendirian? (TSA)