Jika demikian, yang paling mendesak dilakukan ialah perlunya penyusunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan surat edaran koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan industri, dalam hal ini Perbanas dan Asbanda. Dan, yang terpenting perlu holding statement bersama agar menyejukkan suasana bagi nasabah yang saat ini kebingungan. Jangan biarkan nasabah liar dalam memperoleh informasi.
Dan, yang paling penting ialah kerahasiaan data perlu diperhatikan agar tidak bocor atau untuk keperluan di luar yang diamanatkan dalam Perppu. Untuk itu, perlu dibuat daftar siapa saja dari DJP yang berhak minta atau menerima informasi.
Sementara, threshold yang dilaporkan untuk nasabah WNI juga perlu diatur. Usulan yang ada sama seperti AEOI, US$250.000 atau setara dengan Rp3,3 miliar. Atau, sesuai dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yaitu Rp2 miliar. Atau, bertahap sesuai dengan AEOI. Kalau sudah jalan, baru turun ke Rp2 miliar.
Baca juga: Rahasia Bank yang Tak Rahasia Lagi
Kalangan perbankan berharap batas simpanan yang akan ditetapkan perlu mendengar dari industri, dan jika boleh berharap dari nasabah korporasi dan badan usaha serta baru diikuti oleh perorangan yang tidak ikut tax amnesty dan baru mereka yang punya simpanan di atas Rp2 miliar.
Kita berharap apa yang menjadi cita-cita dalam Perppu ini tidak akan menjadi efek negatif bagi perbankan. Namun, dapat diperkirakan, pada masa transisi sampai dengan 1 Januari 2018 akan terjadi pergerakan likuiditas antarbank—dari bank ke sektor lainnya. Semoga Perppu ini tepat sasaran dan tidak menjadi bahan baru untuk mengobok-obok bank dengan motif tertentu karena belum adanya mekanisme check and balance.
Jagalah likuiditas dan hari-hari ini sudah terjadi kerawaan likuiditas yang sangat tinggi—kita tak berharap terjadi capital outflow, tapi uang selalu mencari tempat yang aman. Jadi, harus hati-hati memberlakukan kebijakan yang menyangkut duit nasabah. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank