Keputusan “Sesat”! Kresna Life Menang Lagi di PTUN, Ini Preseden “Seburuk-Buruknya” Keputusan

Keputusan “Sesat”! Kresna Life Menang Lagi di PTUN, Ini Preseden “Seburuk-Buruknya” Keputusan

Oleh: Tim Biro Riset Infobank

“KEPUTUSAN sesat! Itu akan menjadi preseden buruk. Bahkan, terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Bayangkan. Jika sebuah otoritas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak berhak mengambil keputusan untuk menutup perusahaan asuransi yang menjadi kewenangannya. Apalagi, OJK itu lembaga independen berdasarkan UU P2SK. Akan aneh jika OJK tak boleh menutup perusahaan asuransi yang diawasinya,” demikian hasil diskusi terbatas Infobank Institute dengan sejumlah tokoh keuangan dan ahli hukum menanggapi kemenangan tingkat banding gugatan Kresna Life.

Bahkan, disebutkan, ditutupnya sebuah perusahaan asuransi yang “gering” karena tidak ada komitmen pemilik untuk menambah modal minimum. Jadi, penutupan asuransi, dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Penyelesaian Kresna Life tampak berlarut-larut, karena tidak ada komitmen pemegang saham untuk menambah modal. Bahkan, saat ini Michael Steven dikejar OJK untuk melaksanakan ganti rugi atas gagal bayar korban Kresna Life.

Menurut catatan Infobank, beberapa waktu lalu, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK bahkan mengecam jika perintah tertulis tersebut tak diindahkan, maka Michael Steven berpotensi terkena dampak pidana. Ketegasan Ogi ini mendapat apresiasi dari kalangan industri, karena merupakan bagian dari peningkatan kepercayaan bagi industri asuransi.

Pemilik Group Kresna Michael Steven kembali menang dalam gugatan banding melawan OJK atas putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang pencabutan sanksi Cabut Izin Usaha (CIU) PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life). Hakim PTUN resmi menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 475/G/2023/PTUN.JKT. tanggal 22 Februari 2024 yang dimohon banding.

Satu, perkara tersebut sebelumnya memutus pembatalan pada Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-42/D.05/2023 tertanggal 23 Juni tentang pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life).

Baca juga: OJK Hadapi Dua Tantangan Besar di Industri Asuransi, Apa Saja?

Kedua, putusan juga membatalkan Surat Perintah Tertulis Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, Dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-30/D.05/2023 tanggal 23 Juni 2023. Selain itu, pengadilan juga memutuskan untuk menghukum Pembanding I dan Pembanding II untuk membayar biaya perkara yang dalam tingkat banding sebesar Rp250.000.   

Sekali lagi, seperti kata ahli hukum, berita tentang kemenangan Kresna Life oleh Pengadilan Tata Niaga Usaha (PTUN) ditingkat tinggi melengkapi carut marut hukum di Indonesia. Beberapa waktu lalu, Infobanknews pernah menulis ketika dikabulkan Kresna Life oleh PTUN yang dinilai telah merusak “kewarasan” sektor keuangan. Justru dikabulkannya dan dimenangkannya gugatan Kresna Life ini akan merusak kredibilitas industri asuransi yang harusnya dijaga kepercayaannya.

Bayangkan! Kresna Life yang sudah “gering” karena Risk Based Capital (RBC) negatif, dan sudah diberi kesempatan waktu untuk memperbaiki, salah satunya guyuran modal, tapi pemegang sahamnya tak sanggup dan membuat skema pembayaran yang tak pernah nyata. Pendek kata, Kresna Life telah menjadi “Zombie” – hidup tapi mati. Bahkan, menurut kabarnya, Michael Steven, pemilik Kresna Life, sedang dicari oleh Bareskrim Polri atas kasus Kresna Securitas. Bareskrim Polri secara resmi telah melakukan gelar perkara untuk meningkatkan kasusnya menjadi tersangka (19/9/2023).

Menurut catatan Infobank Institute, dikabulkannya gugatan, dan kemenangan tingkat banding Kresna Life oleh PTUN, Jakarta terasa aneh dan janggal dalam indutri keuangan. Namanya otoritas seperti OJK tugas dan wewenangnya melakukan teguran, dan bahkan sanksi serta penutupan terhadap pelaku jasa keuangan.  Hal itu sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

Tapi itulah Indonesia. Segalanya bisa terjadi dengan adanya mazab “kebenaran baru” yang bukan bersumber pada fakta dan data, tapi berdasarkan persepsi – yang sekarang terjadi di mana-mana. Namun demikian tampaknya keputusan PTUN terhadap Kresna Life tidak melihat kondisi Kresna Life sebelum OJK memutuskan untuk ditutup.

Menurut catatan Infobank Institute, kondisi keuangan Kresna Life memburuk sejak tahun 2020. Laporan keuangan terakhir seperti yang dipublikasikan pada akhir tahun 2019. Kondisi keuangan tampak “seger bugar” dengan mencatat pendapatan Rp9,25 triliun, posisi modal Rp715 miliar dan laba komprehensif Rp318,2 miliar. Angka-angka Kresna Life menggambarkan kondisi “baik baik” saja dari luar dengan RBC sebesar 337,57 persen. Tidak diketahui apakah laporan keuangan sudah diaudit atau belum.

Namun yang mengejutkan pada 14 Mei 2020 tiba-tiba, Krena Life mengaku mengalami masalah likuiditas dan portofolio investasi. Akibatnya, Kresna Life memutuskan menunda pembayaran polis jatuh tempo sejak 11 Februari 2020 hingga 10 Februari 2021. Bukan hanya itu saja. Sejak 14 Mei 2020 hingga 10 Februari 2021 juga menghentikan pembayaran manfaat yang seharusnya dibayar oleh Kresna Life kepada pemegang polis.

Derita pemegang polis tidak sampai di situ saja. Empat hari sejak pemberitahuan penundaan pembayaran polis jatuh tempo, pada 18 Mei 2020, Kresna Life mengirim surat kepada nasabah. Isi surat itu tak lain tak bukan tentang penyusunan skema penyelesaian kewajiban perusahaan dan akan disampaikan kepada pemegang polis selambat-lambatnya 30 hari sejak surat terbit.

Bukannya skema penyelesaian yang didapat. Akan tetapi, hingga 18 Juni 2020 skema yang dijanjikan tak kunjung terbit. Justru pada tanggal yang sama Kresna Life lagi-lagi menerbitkan surat kepada nasabah. Perseroan memberitahukan. Pembayaran tahap pertama hanya diberikan kepada pemegang polis K-LITA dan PIK senilai Rp50 juta. Dan, mekanismenya akan disampaikan dalam tujuh hari kerja sejak surat diterbitkan.

Masih menurut catatan Infobank Institute, pada tanggal 17 Juli 2020, Kresna Life justru memberitahukan penyelesaian tahap berikutnya, untuk pemegang polis dengan nominal di atas Rp50 juta diundur menjadi tanggal 3 Agustus 2020. Alasannya, gedung yang dipakai kantor dikosongkan karena terpapar virus COVID-19.

Nah, merasa tidak ada kepastian. Para nasabah melaporkan Kresna Life ke OJK. Pada tanggal 14 Agustus 2020, OJK menerbitkan surat OJK Nomor S-342/NNB.2/2020 yang isinya pembatasan kegiatan usaha Kresna Life. Intinya, OJK mengambil langkah untuk memastikan perseroan membayar kewajiban kepada nasabah. Atawa lebih jelas pemegang saham membayar kewajibannya.

Selanjutnya banyak drama terjadi pada Kresna Life, seperti PKPU-Pailit. Hal ini tercantum dalam putusan kasasi MA Nomor 647 K/Pdt.Sus-Pailit/2021, dari gugatan perdata enam orang nasabah Kresna Life yang sebelumnya menang, karena majelis hakim menjatuhkan putusan PKPU Sementara untuk Kresna Life pada 10 Desember 2020.

Setelah itu, terdapat Putusan PKPU Tetap Nomor 389/Pdt.Sus-PKPU/PN Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tanggal 22 Januari 2021. Namun, pada 18 Februari 2021 terdapat Perjanjian Perdamaian (Homologasi) dalam putusan Nomor 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst. Lewat putusan terbaru di tingkat kasasi ini, Kresna Life diputuskan kembali dalam keadaan semula sebelum adanya putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan homologasi, karena seluruh Putusan Judex Facti dalam perkara ini batal.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi, pasal 50, juga memperkuat kewenangan kepada OJK sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi. Sementara, pasal 2, ayat (5), Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan pula kewenangan OJK sebagai pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi. Harusnya tidak ada kontroversi. Intinya semua ini karena Kresna Life tidak membayar kewajibanya kepada nasabah.

Babak selanjutnya dari drama Kresna Life adalah tentang Rencana Penyehatan Keuangan (RPK). Diketahui, OJK telah memberikan Kresna tenggat waktu pada Senin (13/2/2023) untuk menyerahkan RPK serta bukti persetujuan pemegang polis atas konversi polis menjadi subordinated loan (SOL) yang diusulkan dalam RPK terakhir Kresna (RPK ke-10), yang ditolak OJK. Namun, pihak Kresna Life tidak hadir. 

Singkat cerita, Kresna Life mengajukan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) pada saat akhir batas waktu dengan skema penyelesaian berupa konversi klaim pemegang polis menjadi SOL. Tidak lama setelah itu, OJK menyetujui RPK-nya. Namun menurut OJK seperti tertulis dalam siaran persnya, Kresna Life sampai dengan batas waktu yang diberikan tidak mampu menunjukkan komitmen penambahan modal dari pemegang saham melalui escrow account dan menyampaikan perjanjian konversi SOL yang diaktanotariilkan. Penyetoran dana di Escrow Account yang diminta OJK ini dibutuhkan sebagai bentuk komitmen Kresna Life untuk mengembalikan dana nasabah.

Itu artinya OJK telah memerintahkan para pemegang saham pengendali dan jajaran direksi PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life untuk bersama-sama mengganti kerugian pemegang polis atau nasabah. Perintah pembayaran ganti rugi ini telah disampaikan melalui perintah tertulis sesuai kewenangan OJK yang dijamin oleh Undang-undang P2SK tentang OJK.

Jika meruntun kasus Kresna Life yang terjadi, maka pokok persoalannya pemegang saham sering berjanji yang tak pernah ditepati untuk membayar kewajibannya. Jadi, tidak ada pencabutan izin usaha yang dilakukan oleh OJK yang datang mendadak. Salah satu basisnya adalah setiap entitas asuransi yang akan dicabut pasti sudah terlebih dahulu dimasukkan dalam apa yang disebut pengawasan khusus, seperti yang tergambar di atas.

Selain itu, OJK juga akan melakukan apa yang disebut S-PKU atau Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (S-PKU) dan sanksi ini diberikan biasanya karena entitas tidak mampu memenuhi rasio solvabilitas, ekuitas maupun rasio kecukupan investasi. Dengan kata lain ada urutan dan proses yang harus ditempuh. Pencabutan izin usaha tidak dilakukan sak deg sak nyet (seketika).

Menurut seorang pengamat asuransi yang menjadi saksi ahli, gagal bayar perusahaan asuransi tidak terjadi sesaat melainkan melalui serangkaian pengawasan yang menjadi kewenangan OJK. Wujudnya setiap periode perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan tentang keadaan kesehatan dan pengelolaan Perusahaan kepada OJK. Pengamat ini tampak menyembunyikan kenyataan. Sejak tahun 2020 sudah dilakukan rangkaian pengawasan sehingga ditemukan masalah seperti investasi yang lebih banyak dilakukan pada portofolio saham milik groupnya.

Jika saksi ahli menyebut dalam kesaksiaanya bahwa OJK yang tidak melakukan tindakan pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan namun langsung melakukan pencabutan izin usaha menunjukkan bahwa OJK yang memiliki kewenangan belum melakukan kewajiban sepenuhnya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan OJK berupa CIU (Cabut Izin Usaha) atas perusahaan asuransi dapat digugat oleh pemegang polis yang kepentingannya dirugikan akibat keputusan tersebut.

Pendapat ini menurut beberapa ahli dan fakta di lapangan juga tidak berpijak pada kenyataan. Jelas-jelas OJK meminta pemegang saham untuk menambah modal. Bahkan, sampai RPK sebanyak 10 kali. Tapi tidak dipenuhi.

“Ini saksi ahli atau pembela dari Kresna Life yang faktanya tidak mampu membayar kewajibannya kepada pemegang polis, kenapa mengatakan OJK langsung mencabut ijin usahanya,” kata seorang ahli hukum keuangan.

Kata saksi ahli dalam keterangannnya, SOL sebagai salah satu bentuk restrukturisasi tidak dapat dibatalkan oleh siapapun karena merupakan wujud kebebasan berkontrak (asas pacta sunt servanda) yang diatur dalam pasal 1338  KUH Perdata dan peraturan OJK. Pada kenyataan ketika deadline waktu ditetapkan pemegang saham tidak mampu memenuhi deadline tentang tambahan setoran modal. Sumber menyebut kisaran Rp1 triliun yang tidak dipenuhi pemegang saham.

Jadi argumen yang menyatakan bahwa pencabutan izin usaha dilakukan karena OJK tidak mengawasi sangat tidak masuk akal. Oleh karena S-PKU adalah logical outcome dari gagalnya entitas memenuhi rasio solvabilitas. Terlebih, OJK selalu memberikan waktu bagi entitas untuk menyelesaikan SPKU dengan biasanya meminta entitas untuk membuat RPK.

Gagalnya RPK tampak tercermin dari tidak mampunyai share holder untuk top up capital dan ini akan tercermin dari angka solvabilitas yang rendah atau di asuransi disebut sebagai Risk Based Capital (RBC). Oleh karena itu, jika dasar argumen yang digunakan adalah OJK melakukan pencabutan izin usaha tanpa proses dan urutan yang berlaku, akan sangat meragukan dan lebih aneh lagi jika dasar itulah yang dijadikan sebagai basis Putusan PTUN membatalkan Keputusan Pencabutan Izin Usaha yang dilakukan oleh OJK.

Jadi urutan di atas adalah mekanisme yang sesuai dan diatur dalam UU yang memberikan kewenangan atau otoritas OJK, yang antara lain berwenang untuk mencabut izin usaha entitas asuransi. Yang jadi masalah adalah disitirnya tentang adanya sebuah proses yang terkait dengan perjanjian konversi polis menjadi pinjaman subordinasi atau subordinate loan (SOL). Ini alasanya yang mengada, dan tak berpijak pada kenyataan di mana semua tahu pemegang saham tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan.

Dalam konteks inilah kemudian SOL dikaitkan dengan azas pacta sunt servanda. Padahal, yang harus dilakukan adalah menghitung seberapa besar pemegang polis yang setuju terhadap SOL dan berapa yang tidak. Perhitungan seperti inilah yang kemudian akan menghasilkan jumlah yang cukup atau tidak cukup dalam konteks RBC. Jika terjadi kekurangan, maka kekurangan dari jumlah itulah yang wajib dipenuhi oleh pemegang saham pengandali (PSP).

Baca juga: AAUI Beberkan 6 Poin Penting dalam Penyusunan Penjaminan Polis Asuransi

Jadi tekanannya bukan kapada azas acta sunt servanda itu sendiri, tapi terletak kepada kewajiban yang harus dipenuhi oleh PSP. Jika kewajiban PSP dilaksanakan, maka RPK akan diberikan jalan oleh OJK dan jika tidak maka pencabutan izin usaha adalah jawabannya. Hal ini yang tidak dipenuhi.

Praktisi hukum dan pengamat ahli terkadang sering bersilat lidah dan menggiring masalah ke arah yang tidak relevan. Setelah kalah dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi PTUN OJK tidak punya pilihan lain kecuali mengajukan upaya hukum sebagai bagian dari tertib entitas asuransi dan tertib aturan OJK. Itu untuk menunjukan bahwa OJK itu independen dan di bawah UU P2SK.

Tidak bisa dibayangkan Kresna Life yang sudah dicabut izinnya itu hidup lagi menjadi “zombie” – di mana pemiliknya sedang dicari oleh Bareskrim Polri karena kasus Kresna Sekuritas. Dan, sudah saatnya OJK membersihkan perusahaan asuransi “kaleng-kaleng” lainnya dari industri asuransi. Jangan sampai putusan “sesat” PTUN terhadap Kresna Life ini menjadi preseden super buruk. Putusan PTUN soal Kresna Life ini berbahaya bagi industri asuransi.

“Bisa jadi hakim PTUN tampaknya kurang dalam memahami posisi OJK yang dijamin dalam UU P2SK ini. Atau, barangkali tidak memahami bahwa OJK itu independen,” kata seorang ahli hukum sambil tersenyum.

Bayangkan saja, ke depan setiap asuransi yang ditutup akan mengajukan gugatan ke PTUN — dengan preseden buruk kemenangan Kresna Life ini. Apa jadinya keputusan “sesat” PTUN ini akan menjadi pegangan dalam membangun asuransi ke depan.

Jadi tak heran kalau ada ahli hukum yang menyebut kemenangan Kresna Life di tingkat banding ini merupakan preseden terburuk, dan keputusan “seburuk-buruknya keputusan” bagi indutri asuransi yang citranya buruk – yang salah satunya karena gagal bayarnya Kresna Life ini.

Related Posts

News Update

Top News