Jakarta – Usai diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah imbas dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Tarif pajak untuk jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa naik menjadi 40-75 persen.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD, menyebutkan bahwa khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet mengatakan, kenaikan pajak hiburan tersebut akan bisa direspon secara tidak signifikan di beberapa Provinsi/Kabupaten, dimana konsumennya memiliki kapasitas dalam menerima perubahan harga.
“Namun di sisi lain mereka atau Provinsi dan Kabupaten yang tidak memiliki konsumen yang dapat cepat merespon perubahan harga akibat kenaikan tarif pajak tentu akan ada potensi penurunan permintaan terhadap jasa hiburan yang dimaksud dari tarif pajak tersebut,” ujar Yusuf saat dihubungi Infobanknews, Jumat 19 Januari 2024.
Baca juga: Luhut Minta Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen Ditunda, Ini Alasannya
Meski demikian, urgensi pemerintah menaikan tarif pajak hiburan adalah salah satu cara yang dijalankan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di masing-masing daerah sesuai dengan amanat undang-undang harmonisasi keuangan pusat dan daerah.
“Kalau kita lihat beberapa daerah ini kemudian memang membutuhkan tambahan PAD, karena secara proporsi kapasitas fiskal mereka relatif kecil dan sangat tergantung dari pendanaan oleh transfer pemerintah pusat,” imbuhnya.
Dari dua faktor tersebut, tambah Yusuf, kenaikan tarif ini akan menjadi tantangan, sebab akan dipukul rata ke semua daerah. Padahal kapasitas fiskal dan kemampuan sektor hiburan di masing-masing daerah itu berbeda dan tentu responnya juga akan beragam.
“Hal inilah yang kemudian menurut saya menjadi alasan muncul ketidaksetujuan dari beberapa pelaku usaha hiburan mengenai tarif pajak tersebut,” paparnya.
Di sisi lain, pemerintah perlu memperhatikan aspek keadilan sebelum memukul rata kenaikan pajak hiburan. Sebab, kata dia, setiap daerah akan memiliki respon yang berbeda-beda terhadap melonjaknya harga jasa hiburan, khususnya pada pelaku usaha dan masyarakat.
Baca juga: Tak Semua Naik, Ini Jenis Pajak Hiburan yang Diturunkan Tarifnya, Ada Pagelaran Musik Hingga Panti Pijat
“Sehingga menurut saya memang jika dimungkinkan melalui Perda tertentu harus ada penyesuaian penetapan tarif sesuai dengan kemampuan dan juga kondisi di daerah tersebut,” ungkap Yusuf.
Menurutnya, saat ini langkah yang paling ideal adalah menunda dan menunggu hasil dari judicial review yang diajukan. Di saat yang bersamaan alternatifnya ketika pemerintah pusat dan daerah tetap melanjutkan tarif pajak ini, mungkin saja bisa di kompensasikan dengan cara memberikan insentif lain kepada pelaku usaha hiburan.
“Sehingga insentif ini bisa mengkompensasi kenaikan tarif pajak yang mereka harus bayarkan. Harapannya kompensasi ini pun bisa tetap menjaga daya saing pelaku usaha tersebut di tengah kondisi mereka dan juga keharusan untuk membayar kenaikan tarif pajak yang sudah ditetapkan oleh pemerintah terutama di level daerah,” pungkasnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra