Solo – Langkah Bank Indonesia (BI) yang kembali menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6% dinilai sudah tepat.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Hoesen menilai bahwa keputusan BI menaikan suku bunga untuk mengimbangi defisit neraca perdagangan (current account deficit/CAD).
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit di bulan Oktober 2018 senilai US$ 1,82 miliar.
“Peningkatan currency ini sebetulnya perlu dicermati bahwa kenaikan ini untuk imbangi current account devisit. Portofolio yang terjadi di 2017 dan sebelum 2017 kan negatif tapi ada kompensasi asing masuk. Transaksi di 2018 masih negatif dan kebetulan portofolio tidak masuk tapi keluar namun diimbangi SBN. Kalau sekarang 1-2 minggu ini outflow mulai jadi inflow termasuk di SBN,” ucapnya, dalam acara Media Gathering wartawan pasar modal, di Solo, Jumat, 16 November 2018.
Menurut Hoesen, kenaikan suku bunga memang menjadi kebijakan BI untuk mengelola moneter seperti nilai tukar dan lain sebagainya. “Kita support itu (kebijakan BI), karena pada akhirnya pencapaian di pasar modal tidak terjadi, kalau tidak ada stabilitas di Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Inarno menuturkan, investor telah mengantisipasi langkah BI menaikan suku bunga. Hal tersebut terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada hari ini yang menguat 56,61 poin atau 0,95% ke 6.012,35.
“Kemarin BI naikan suku bunga, tapi ternyata indeks naik cukup signifikan. Hal ini sudah diantisipasi investor sebelumnya. Gubernur BI juga mengatakan bahwa tahun ini akan ada dua kenaikan kemarin sudah sekali jadi sudah masuk perhitungan mereka,” terangnya dalam kesempatan yang sama. (*)