Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menegaskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan tetap diberlakukan pada tahun 2025.
“Jadi, kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut,” ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Meski begitu, Parjiono menjelaskan bahwa pemerintah akan tetap memprioritaskan daya beli masyarakat dalam penerapan kebijakan ini. Oleh karena itu, subsidi dan jaring pengaman sosial akan diperkuat untuk melindungi kelompok masyarakat rentan.
“Daya beli menjadi salah satu prioritas. Kita perkuat juga subsidi, jaring pengaman,” imbuhnya.
Baca juga: PPN Naik 12 Persen Tahun Depan, Ini yang Dikhawatirkan UOB Indonesia
Lebih jauh, Parjiono menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ini juga mempertimbangkan struktur ekonomi secara menyeluruh. Selama ini, insentif perpajakan lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sehingga pemerintah ingin memastikan kebijakan perpajakan menjadi lebih adil dan efektif.
“Kalau kita lihat, insentif misalnya perpajakan, kan yang lebih banyak menikmati itu kelas menengah dan atas,” ungkapnya.
Namun, sebelumnya Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengindikasikan kemungkinan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut.
Menurut Luhut, penundaan dilakukan untuk memberikan ruang bagi pemerintah dalam menyediakan stimulus berupa subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Ya hampir pasti diundur, biar dulu jalan tadi yang ini (subsidi),” ujar Luhut, Kamis, 28 November 2024.
Baca juga: Luhut Pastikan Kenaikan Tarif PPN 12 Persen Ditunda, Subsidi jadi Prioritas
Luhut menjelaskan, stimulus yang disiapkan akan diberikan dalam bentuk bantuan sosial (bansos) berupa subsidi listrik. Kebijakan ini dipilih untuk menghindari risiko penyalahgunaan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
“Harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah. Lagi dihitung, mungkin 2 atau 3 bulan. Ada hitungannya, tapi diberikan itu ke listrik, karena kalau diberikan nanti (langsung) ke masyarakat, takut disalahgunakan untuk judi,” ungkap Luhut. (*)
Editor: Yulian Saputra