Jakarta–Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Melchias Marcus Mekeng mengakui, kenaikan harga cukai rokok tidak terlalu berpengaruh besar dampaknya. Apalagi cukai rokok hanya sebagai pengendali penerimaan negara.
“Itu kan di dalam undang-undang (UU) memang ada range-nya dan pemerintah yang memutuskan mau naik atau tidak, sesuai dengan kondisi. Selama itu bermanfaat buat penerimaan, tidak mengganggu di masyarakat. Itu domain-nya pemerintah,” ujar Melchias Marcus Mekeng, ditemui di Gedung BEI, SCBD Sudirman, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016.
Dia menilai sejauh ini harga rokok di Indonesia masih sangat murah, jika dibanding negara lain yang telah mencapai ratusan ribu rupiah per bungkusnya. Dengan begitu, nilai kenaikan harga rokok tersebut masih sangat wajar.
Komisi XI sendiri diakuinya, belum ada diskusi bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau per 1 Januari 2017 dengan rata-rata kenaikan sebesar 10,54%. Pasalnya, sejauh ini hal tersebut tidak ada permasalahan yang berarti.
“Sekarang orang duitnya banyak beli rokok, bukannya beli yang lain yang berguna. Supir saya ngerokok, dia bilang kalau harga rokok Rp50 ribu saya berhenti Pak. Satu hari Rp50 ribu, sebulan Rp1,5 juta untuk rokok,” tegas dia.
Apalagi lanjutnya hal itu tidak akan mengganggu industri rokok, karena masyarakat tetap masih membeli rokok. Meskipun, porsi pembelian akan dikurangi oleh masyarakat.
Sekadar informasi, pemerintah berencana menaikan tarif cukai rokok pada 2017 rata-rata 10,54%. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan tarif terbesar berlaku untuk rokok jenis hasil tembakau sigaret mesin yaitu 13,46%, sementara yang terendah yaitu nol persen untuk sigaret kretek tangan.
“Sekarang kan tinggal pilihan. Orang mau ngerokok atau tidak. Kalau sudah mahal ya tinggal pilihan orang. Toh di luar negeri dinaikan juga tidak tutup juga industri rokok,” tutupnya. (*) Dwitya Putra
Editor: Paulus Yoga