Jakarta – Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh beberapa bank sentral di sejumlah negara ternyata belum tentu menjadi solusi untuk menekan lonjakan inflasi. Apalagi bila kenaikan suku bunga tersebut dilakukan “terlalu tinggi, terlalu cepat, dan terlalu jauh”, seperti yang disampaikan oleh Joseph Stiglitz, ekonomist pemenang nobel dan profesor Columbia University belum lama ini.
“Kekhawatiran saya yang sebenarnya adalah apakah mereka menaikkan suku bunga terlalu tinggi, terlalu cepat, terlalu jauh,” ucap Joseph, seperti dikutip dari CNBC, Senin, 12 September 2022.
Pria yang sekaligus penulis buku “The Price of Inequality” dan “Globalization and Its Discontents” ini, memaparkan bahwa meskipun perlu ada penyesuaian terhadap kebijakan suku bunga 0% atau mendekati 0% yang telah berlaku sejak 2008, ada tiga alasan mengapa kebijakan menaikkan suku bunga secara agresif malah bisa memicu inflasi lebih tinggi.
Pertama, sumber penyebab inflasi, menurut Joseph, adalah rantai pasokan yang terganggu, yang kemudian mengantarkan pada kenaikan harga minyak dan makanan. Bahkan, hal ini sampai menyebabkan kelangkaan susu formula bayi.
“Akankah meningkatkan suku bunga mengantarkan pada peningkatan persediaan minyak, harga minyak yang lebih murah, persediaan makanan lebih banyak, harga makanan yang lebih murah? Jawabannya sudah pasti tidak. Kenyataannya, hal itu akan membuat inflasi lebih parah,” tegasnya.
“Kenapa? Karena apa yang kita butuhkan adalah melakukan investasi untuk menghilangkan beberapa sumbatan rantai pasokan yang menyebabkan disaster tersebut di ekonomi kita. Meningkatkan suku bunga secara agresif akan membuat pemulihan harga semakin sulit terjadi,” kata dia.
Alasan berikutnya adalah fakta bahwa margin perusahaan-perusahaan besar telah meningkat bersamaan dengan biaya pemasukannya. “Mereka tidak hanya melewati batas biayanya, tapi melewatinya lebih lagi. Ada teori populer yang menyatakan bahwa ketika suku bunga naik, korporasi-korporasi mengambil keuntungan lebih dari harga yang naik saat ini,” terangnya.
“Jadi, meningkatkan suku bunga di market yang tidak kompetitif bisa memicu inflasi lebih tinggi,” ungkap dia.
Ia kemudian menambahkan adanya potensi kenaikan harga rumah, yang dapat memicu semakin melebarnya gap pemenuhan tempat tinggal antar generasi saat ini, mengingat ketika suku bunga terus naik, harga sewa atau pembelian rumah akan tetap tinggi, dan tidak akan turun secepat suku bunga yang naik.
“Anda menaikkan suku bunga, itu terefleksikan pada biaya sewa, dan ada studi dari The Federal Reserve yang menunjukkan itu,” jelasnya.
Terakhir adalah adanya fakta bahwa banyak dari para pekerja yang belum mendapatkan kompensasi atas tingginya inflasi. Ia mengacu pada data pasar pekerja AS terbaru yang justru menunjukkan peningkatan daftar gaji pekerja non-pertanian pada Agustus lalu di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Yang sebenarnya terjadi adalah tarif gaji akan turun. Jadi, hal itu setidaknya yang membuat anda khawatir,” tambah Joseph.
Sebagai informasi, Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), telah menaikkan suku bunga 0,75 basis poin di bulan Juni dan Juli lalu. Dan The Fed berencana menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin atau 75 basis poin lagi di bulan ini. (*) Steven Widjaja