Jakarta – Program Kementerian Pertanian (Kementan) dalam mengoptimalisasi pemanfaatan lahan rawa menjadi area pertanaman produktif untuk komoditas padi merupakan langkah keliru. Kebijakan ini membuktikan ketidakmampuan Kementan dalam mencegah alih fungsi lahan yang menjadi faktor utama minimnya lahan tanam, juga realisasi program cetak sawah.
Menurut penggiat lingkungan hidup yakni Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Melky Nahar, pihak Kementan menunjukkan gagal paham dalam pelaksanaan perundangan lingkungan hidup. Seharusnya, Mentan Amran dapat mengevaluasi berkurangnya lahan pertanian di Indonesia, sejalan dengan banyaknya lahan di Indonesia yang dikonversi ke industri lain.
“Salah langkah kalau mentan gunakan rawa sebagai lahan pertanian. Kalau pemanfaatan rawa karena keterbatasan lahan, itu karena banyak lahan tani yang menjadi areal pertambangan,” ujar Melky dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Jumat, 19 Oktober 2018.
Berdasarkan hasil kajian Jatam jug menunjukkan, bahwa konsesi industri ekstraktif mencakup 19 persen dari lahan pertanian padi Indonesia yang sudah dipetakan. Sebanyak 23 persen lahan yang diidentifikasi, mampu diolah untuk pertanian padi. Pihak Jatam juga mempertanyakan realisasi program cetak sawah yang telah dilakukan oleh Kementan.
Tidak tegasnya Kementan dalam mencegah adanya alih fungsi lahan tersebut menjadi kelemahan tersendiri. Seharusnya, pemerintah bisa menunjukan kekuatannya untuk mencegah adanya alih fungsi lahan itu. “Kementan ini powernya sangat rendah sekali untuk menghadapi orang-orang,” ucapnya.
Dikesempatan terpisah, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu A. Perdana mengingatkan Kementan terkait dengan pemanfaatan lahan rawa untuk dijadikan area pertanaman produktif komoditas padi. Pasalnya, pemanfaatan rawa gambut sebagai lahan produktif pernah gagal di era orde baru dulu.
Wahyu menuturkan, pada zaman Soeharto, proyek lahan gambut satu juta hektar berakhir dengan kegagalan. Rawa gambut merupakan ekosistem esensial yang terbentuk jutaan tahun, bukan hanya memiliki fungsi hidrologis, tetapi juga sebagai penyimpan karbon, jika rusak maka akan menyebabkan perubahan iklim. “Pada akhirnya perubahan iklim akan berdampak pada produksi pertanian,” tegasnya.
Ia mengaku belum mendapat detail program yang dimaksud Kementan tersebut. Untuk itulah Walhi mewanti-wanti agar Kementan menerapkan prinsip kehati-hatian dini, yang juga dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Kami berharap Kementan berhati-hati dan belajar dari pengalaman sebelumnya,” paparnya.
Dirinya mengingatkan bahwa pada 1995 melalui Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah, tidak berakhir mulus, bahkan hampir setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi.
“Akhirnya Bungaran Saragih (Mentan kala itu) memutuskan tidak melanjutkan, dan diserahkan ke swasta, kalau saya tidak salah di awal tahun 2000-an,” jelasnya. (*)
Jakarta - UOB Indonesia memandang pentingnya literasi keuangan untuk membantu masyarakat memahami dan mengelola keuangan pribadi… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa penghapusan utang kredit usaha mikro, kecil, dan… Read More
Tangerang - PT Terang Dunia Internusa Tbk, menyiapkan sejumlah strategi khusus menghadapi pelemahan daya beli… Read More
Jakarta - Kasus yang menimpa PT Investree Radhika Jaya atau Investree menyita perhatian masyarakat, dianggap… Read More
Jakarta - Istilah open banking mengacu kepada aksesibilitas data yang semakin terbuka, memungkinkan bank untuk… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menggelar Indonesia Knowledge Forum (IKF) 2024, di… Read More