Jakarta – PT Aryaputra Teguharta (PTAPT) kembali mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap PT BFI Finance Indonesia Tbk (PTBFI/BFIN) dan pihak-pihak terkait lainnya yang dianggap tidak menghomati eksistensi PTAPT sebagai pemilik sah atas 32,32% saham berdasarkan Putusan PK No. 240/2006.
Dalam gugatan yang terdaftar dengan Nomor Registrasi Perkara: 527/PDT.G/2018/PN.JKT.PST ini, PTBFI dituntut untuk membayar ganti kerugian terkait dengan dividen sebesar lebih dari Rp1 triliun.
“Perlu dicatat tuntutan dividen yang digugat di sini hanya sampai dengan tahun buku 2017, artinya argo hitungan kewajiban pembayaran dividen tetap berjalan di masa yang akan datang, dan hak tambahan dividen tersebut akan tetap dikejar sampai kapanpun juga oleh PTAPT,” ujar Asido Panjaitan, Partner dari HHR Lawyers dalam siaran pers yang diterima infobank, Rabu, 26 September 2018.
Dalam gugatannya kali ini, menurut Asido, PTAPT sangat menyayangkan bahwa meskipun sudah jelas salah satu amar Putusan PK No. 240/2006 berisi putusan yang bersifat declaratoir (menyatakan suatu keadaan yang sah menurut hukum) yakni PTAPT adalah pemilik sah (lawful owner) atas saham-saham 32,32%, dan sebelumnya hal ini sudah diperingatkan oleh PTAPT melalui surat somasi tanggal 4 Juni 2018, ternyata PTBFI dengan arogan dan semena-mena begitu saja menolak kewajiban hukumnya yaitu dengan sengaja tidak mau melaksanakan Putusan PK No. 240/2006.
Baca juga: Soal Sengketa Saham BFIN, APT Siap Gugat OJK dan BEI
“Bahkan secara tidak patut mengatakan dan menyebarluaskan kepada masyarakat bahwa Putusan PK No. 240/2006 adalah putusan yang tidak berkekuatan hukum tetap, yang sudah tentu hal tersebut tidak benar,”katanya.
Karenanya dalam gugatan yang didaftarkan pada tanggal 24 September 2018, PTAPT menuntut ganti kerugian berupa: (i) Hak Dividen milik PTAPT untuk tahun buku 2002 s/d tahun buku 2017 sebesar Rp. 644.814.929.646,-; (ii) Ganti rugi yang berasal dari bunga akibat suatu kelalaian/kealpaan untuk membayar dividen sejak tahun buku 2002 sampai dengan tahun buku 2017, yang diperhitungkan 6% (enam persen) per tahun (bunga moratoir), yaitu sebesar Rp. 133.930.161.542,- dan (iii) Ganti rugi immateriil sebesar Rp. 500.000.000.000,-, dengan total ganti kerugian seluruhnya sebesar Rp. 1.278.745.091.188,-.
Selain tuntutan ganti kerugian, PTAPT dalam gugatannya juga menuntut atas perbuatan melawan hukum dari PTBFI yang dengan sengaja menghilangkan keberadaan PTAPT sebagai pemilik sah atas 32,32% saham dalam akta-akta Notaris dan anggaran dasar yang selama ini dibuat oleh PTBFI, padahal akta-akta Notaris tersebut isinya jelas-jelas mengandung cacat material yang tidak mengakui PTAPT sebagai pemilik sah atas saham-saham 32,32% berdasarkan Putusan PK No. 240/2006.
Karenanya PTAPT menuntut agar akta-akta: (i) Akta Nomor: 67 tertanggal 9 Agustus 2006, yang dibuat oleh Aulia Taufani, S.H.; (ii) Akta Nomor: 44 tertanggal 7 Mei 2008, yang dibuat oleh Aulia Taufani, S.H.; (iii) Akta Nomor: 65 tertanggal 21 Juni 2012, yang dibuat oleh Fathiah Helmi, S.H.; (iv) Akta Nomor: 50 tertanggal 23 Juli 2013, yang dibuat oleh Fathiah Helmi, S.H.; (v) Akta Nomor: 27 tertanggal 19 September 2014, yang dibuat oleh Fathiah Helmi, S.H.; (vi) Akta Nomor: 2 tertanggal 3 Juni 2015, yang dibuat oleh Aulia Taufani, S.H.; (vii) Akta Nomor: 10 tertanggal 20 Juni 2016, yang dibuat oleh Aulia Taufani, S.H.; dan (viii) Akta Nomor: 1 tertanggal 5 Mei 2017, yang dibuat oleh Herna Gunawan, S.H., M.Kn., demi hukum dinyatakan sebagai akta-akta pura-pura (akta-akta proforma), karenanya berdasarkan hukum harus dinyatakan batal dan tidak sah secara yuridis, serta dari sejak awal tidak berkekuatan hukum dan tidak mempunyai akibat hukum (void ab initio).
“Kami menuntut agar semua akta-akta Notaris dan Anggaran Dasar yang selama ini dibuat oleh PTBFI, yang isinya mengandung cacat material tidak mengakui PTAPT sebagai pemilik sah atas saham-saham 32,32% berdasarkan Putusan PK No. 240/2006, demi hukum dinyatakan sebagai akta-akta pura-pura (akta-akta proforma), karenanya harus dinyatakan batal dan tidak sah secara yuridis, dan sejak awal tidak berkekuatan dan tidak mempunyai akibat hukum (void ab initio),”pungkasnya.
Berdasarkan penelusuran, total ganti kerugian yang dituntut oleh PTAPT melalui dua gugatan perdata ini seluruhnya sudah berjumlah Rp1.359.105.091.188. Ketika ditanyakan kepada HHR Lawyers, apakah PTAPT hanya bertumpu kepada dua gugatan ini saja, “Tentu saja tidak, karena kami HHR Lawyers atas nama PTAPT akan segera mengajukan gugatan-gugatan lainnya baik di Indonesia maupun di jurisdiksi hukum luar Indonesia. Tunggu saja”, ungkap Asido Panjaitan.
Sebelumnya, Corporate Communications Head BFI Finance, Dian Fahmi sempat menuturkan kepada Infobank sesuai dengan penetapan ketua PN JakPus tgl 26-jan-2018, status terakhir dari kasus perdata ini adalah Non-Executable.
Pengumuman yang dibuat PTAPT adalah terkait pengajuan peninjauan kembali ke dua yang dilakukan Perseroan untuk mendapatkan kepastian hukum karena ada dua putusan untuk kasus yang sama namun dengan hasil yang berbeda, dan keputusan PN jakpus tidak mengubah status hukum, yaitu Non-Executable.
Adapun berdasarkan perjanjian perdamaian yang telah diratifikasi oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 19 Desember 2000, sejumlah 210.192.912 saham yang sebelumnya dimiliki oleh PT Aryaputra Teguharta dan PT Ongko Multicorpora didistribusikan sebagai berikut:
Sebanyak 41.818.700 saham dibagikan kepada seluruh kreditur setelah perjanjian restrukturisasi diselesaikan.
Selain itu 84.736.813 saham dijual kepada investor baru dengan harga jual yang disetujui oleh mayoritas kreditur.
Sedangkan sisanya 83.637.399 saham dijual kepada manajemen dan karyawan Perusahaan berdasarkan “Employee Incentive and Remuneration Scehme” yang dicantumkan dalam “Share Sale and Purchase Agreement” tanggal 9 Februari 2001 antara Perusahaan dan The Law Debenture Trust Corporation, p.l.c., London
“Seluruh pengalihan tersebut adalah bagian dari restrukturisasi hutang Perusahaan milik anak usaha Ongko Group, dimana PT Arya Putra Teguharta merupakan penjamin atas hutang dari beberapa anak usaha Ongko Grup kepada Perusahaan dan tidak dapat dilunasi, sehingga pada akhirnya saham yang dijaminkan oleh APT tersebut dialihkan sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang telah diratifikasi oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 19 Desember 2000,” ujarnya beberapa waktu lalu kepada Infobank lewat pesan singkat. (*)